T3lusur.com Jakarta Etika Global dan Nilai-nilai Humanistik Etika Islam, sangat bagus dipapar Dr. H Sholihan M.Ag. dengan Pengantar Prof. Dr. Habib Chirzin yang diterbitkan oleh RaSAIl, Media Group, tahun 2023. Buku setebal 148 halaman ini memuat Etika Global dan Masa Depan Umat Manusia.
Dalam bab berikutnya (3) Kontribusi Nilai- nilai Humanistik Etika Islam dan (bab 4) memapar Kontribusi Nilai-nilai Humanistik Etika Islam Terhadap Etika global.
Buku yang ditulis dan disusun oleh dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Semarang ini relevan dengan gairah membangun semangat kebangkitan kesadaran serta pemahaman spiritual yang digagas GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) bersama Posko Negarawan yang telah melahirkan Forum Negarawan untuk semakin melaju membangun peradaban dunia agar lebih baik dan lebih beradab, sesuai dengan gagasan para pemuka dan tokoh nasional Sri Susuhunan Paku Buwono XII, Gus Dur, Prof. Dr. Habib Chirzin dan Sri Eko Sriyanto Galgendu serta tokoh nasional lainnya.
Di awal pemaparan tulisannya, kata Habib Chirzin dalam Kata Pengantar buku ini, Dr. H. Sholihan N.Ag., mengungkap latar belakang dan proses kemunculan Etika Global yang dideklarasikan pada tahun 1993 pada Konferensi Parlemen Agama-agama sedunia di Chicago yang bertepatan dengan momentum satu abad Parlemen Agama-agama Dunia yang berdiri pada tahun 1883 di tempat yang sama.
Momentum ini, kata Habib Chirzin menandai awal dari konferensi dialog antar agama-agama di dunia. Dan sebelum Deklarasi Etika Global ini telah dilakukan serangkaian konsultasi, diantaranya di New Delhi, India (1993), di Balgore, India dan di Chicago (September 1993) dengan peserta sekitar 6.000 orang dari berbagai negara dan bangsa di dunia.
Prof. Hans Kung yang mengemukakan Deklarasi Menuju Etika Global yang kemudian diadopsi oleh Parlemen Agama-agama Sedunia. Selaras dengan ide dan gagasan Etika Global ini, Habib Chirzin sebagai aktivis kaliber dunia pun ikut menulis tentang “Parlemen Agama-agama Sedunia dan Etika Global” seperti yang dipublisir secara meluas oleh Harian Republika (Indonesia).
Mengacu gagasan pemikiran Nurcholis Majid yang tertuang dalam makalah kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, tentang”Beberapa Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang” ia menawarkan suatu model kehidupan keagamaan yang masuk dalam wacana modernisme. Indikator dari sejumlah isu yang mengemuka dalam gagasan pemikiran Nurcholis Majid itu, meliputi pluralisme, toleransi, deabsilutisme kebenaran dari suatu teks dan dekonstruksi pemahaman keagamaan.
Sebagai gerakan kultural-intelektual — posmodernisnme — memang sudah muncul pada tahun 1960 hingga semakin populer dalam dunia seni lukis Indonesia pada tahun 1980-an.
Dalam pemikiran tokoh Islam, istilah posmodernisme seperti banyak diekspresikan oleh Muhammad Arkoun dan Hassan Hanafi. Dalam versi Alwi Shihab, modernisme tampil sejarah sebagai kekuatan progresif yang menjanjikan pembebasan manusia dari belenggu keterbelakangan dan irrasionalitas.
Posmodernisme sedemikian cepat merambah semua bidang kehidupan, termasuk bidang keagamaan. Dan sesuai dengan watak epistemologis posmodernisme yang ingin merangkul berbagai macam narasi yang ada, maka agama-agama dalam perspektif postmodern dicoba diangkat — baik sebagai kecenderungan dari sejarah kontemporer maupun sebagai bagian dari legitimasi epistomologis dalam upaya mencari kebenaran.
Sebagai kecenderungan sejarah (hal 6), postmodernisme telah menunjukkan adanya berbagai krisis yang ditimbulkan oleh gerakan modernisme, karena melupakan dimensi spiritual yang terdapat pada semua agama. Pada akhirnya, Etika Global dan Masa Depan Umat Manusia menjadi semakin relevan, seperti yang sudah digagas dan dipelopori GMRI bersama Posko Negarawan yang kini melahirkan Forum Negarawan untuk mengambil peran yang dominan dari apa yang diabaikan oleh pemerintah di semua negara, utamanya Indonesia.
Etika Global, kata Sholihan dalam buku ini (hal 36) adalah prinsip-prinsip etika seperti yang dideklarasikan oleh Parlemen Agama-agama Dunia (The Parlement of the World’s Religions) yang dideklarasikan di Chicago, Amerika Serikat pada 28 Agustus hingga 4 September 1993 yang diberi nama Declaration toward a Global Ethic (Deklarasi Menuju Etika Global). (hal 36, 37). Buku ini bagi GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) menjadi penting sebagai pendukung gagasan untuk membangkitkan gerakan kesadaran dan pemahaman spiritual yang sudah dilakukan Sri Eko Sriyanto Galgendu bersama sahabat dan kerabat
GMRI yang gigih meneruskan cita-cita GMRI untuk membangun kesadaran dan pemahaman spiritual dengan berbasis pada etik profetik — cara atau tuntunan dan ajaran Nabi — dalam menjalani hidup sebagai manusia yang mengemban amanah khalifah Allah di bumi. Sehingga pemaknaan dari rahmatan lil alamin dapat terwujud dan senantiasa terjaga sebagaimana iman dan ketaqwaan kepada Yang Maha Rachman dan Maha Rachim. Agaknya, inilah sumbangan tak ternilai dari buku ini untuk mendorong percepatan Global Etik Profetik yang wajib dan perlu segera membumi di negeri ini. Sehingga Indonesia — yang bermula dari Nusantara — akan mampu melipatgandakan kejayaannya seperti yang pernah terjadi pada kisaran abad ke-14, untuk segera menjadi mercusuar dan poros peradaban bangsa-bangsa yang ada di dunia.
Penggambaran yang dilukiskan oleh Hans Kung menerasikan bahwa modernisme telah melahirkan ilmu pengetahuan, tetapi tanpa kebijaksanaan, teknologi tanpa kekuatan spiritual, industri tanpa ekologi, dan demokrasi tanpa moralitas. Inilah yang menyebabkan krisis fundamental — ekonomi, ekologi dan politik yang terjadi secara global sehingga acap juga disebut sebagai krisis global. Untuk mengatasi krisis global inilah Parlemen Agama-agama menyadari perlu adanya tanggung jawab global. Yaitu konsensus fundamental yang berkaitan dengan nilai-nilai yang mengikat dan sikap moral yang fundamental. Karena dalam etika Islam itu bersifat teistik juga bersifat humanistik seperti fitrah manusia yang mengusung Rachmat lil alamin.
Penulis Jacob Ereste
Jakarta, 8 Mei 2023