Jakarta t3lusur.com Apakah perlu seorang akademisi atau non akademisi (jika menggunakan term manajemen modern) memiliki kemampuan atau kecerdasan sosial dalam kepemimpinannya di kampus? Pertanyaan ini terasa agak aneh. Karena memang dalam perspektif kepemimpinan, seseorang penting memiliki kecerdasan ini (kecerdasan sosial). Setidaknya agar dia (pemimpin) bisa tetap survive dalam kepemimpinannya.
Pada realitasnya, seorang pemimpin dapat saja survive tanpa memiliki kecerdasan ini, dan banyak dijumpai bahwa memimpin tanpa kecerdasan sosial-pun lembaga yang dipimpinnya dapat berjalan bahkan dapat berlari menuju arah dan tujuannya. Apakah memang benar demikian? Perlu jawaban yang cerdas rupanya.
Banyak ahli berpandangan bahwa keberhasilan dalam kepemimpinan sangat bergantung pada kecerdasan seorang pemimpin. Hal ini yang kemudian terus menjadi fokus bahkan ketika kecenderungan suatu kelompok mulai menempatkan variabel kecerdasan dalam upaya untuk mencari dan memiliki seorang pemimpin.
Tentunya kecenderungan ini tidak juga salah, tetapi juga dapat dikatakan tidak 100% benar. Secara umum, ada beberapa jenis kecerdasan manusia yang terkait dengan dirinya dan lingkungannya, antara lain kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual. Seperti yang saya singgung di atas bahwa keberhasilan seseorang (dalam hal ini pemimpin) tidak sepenuhnya bergantung pada kecerdasan intelektual, kendatipun dalam manajemen kepemimpinan orang lalu cenderung melihat kecerdasan intelektual sebagai faktor determinan.
Kecerdasan intelektual lalu menjadi fokus untuk terus menerus ditingkatkan, padahal dalam era yang semakin kompleks dibutuhkan kecerdasan lain yang saya kira juga harus mumpuni yakni kecerdasan sosial. Itu bukanlah berarti kecerdasan lainya (emosional dan spritual bahkan mungkin intelektual) diabaikan.
Pertama, apakah kecerdasan sosial itu?
Kecerdasan sosial sesungguhnya adalah kemampuan untuk secara efektif mengendalikan dan mampu bernegosiasi dalam interaksi dengan lingkungan sosial. Kedengarannya sederhana dan ada kemungkinan setiap individu (pemimpin) mampu melakukan itu. Menurut pandangan Ross Honeywill, kecerdasan sosial adalah gabungan dari kesadaran diri dan kesadaran sosial. Menarik memang untuk dicermati bahwa kecerdasan sosial itu adalah interaksi dari kesadaran diri dan kesadaran sosial.
Kemarin kebetulan saya melihat sebuah percakapan (unggahan video) pada sebuah pertemuan lingkup pemerintahan, yang memperlihatkan adanya seseorang yang secara sadar (dalam kesadaran diri dan kesadaran sosial) menunjukkan gaya komunikasi dalam kepemimpinannya yang membias dari kecerdasan sosial tersebut.
Respons dari seorang pemimpin terhadap suatu masalah yang dihadapinya sesungguhnya turut mengisyaratkan sejauhmana kemampuan pemimpin tersebut dalam mewujudkan kecerdasan sosialnya, yang pada gilirannya akan berdampak pula terhadap sosok kepemimpinannya yang berpengaruh atau tidak sama sekali di tengah orang banyak. Contoh ini mengisyaratkan bahwa kecerdasan sosial dalam kepemimpinan, pada dasarnya patut diberlakukan pada semua jenis dan level kepemimpinan, baik di tengah dunia pemerintahan, bisnis, sekuler, perguruan tinggi, dan bahkan pula di lingkup gereja (baca: agama).
Pandangan ini tentu bisa saja dikritisi karena banyak sekali pola penglihatan (pengamatan yang terkonstruksi) yang ditunjukkan, yang ternyata adalah hasil manipulasi baik dari pemikiran maupun dari teknologi. Mari kita kembali pada topik kita yakni pada kepemimpinan yang membutuhkan kecerdasan sosial,
Nicholas Humphrey percaya bahwa kecerdasan sosial, bukan sekadar kecerdasan kuantitatif, yang kemudian dapat mengukur kapasitas seseorang berdasarkan proses standarisasi yang biasanya telah ditetapkan bahkan berusaha untuk melakukan proses kuantifikasi dari value atau nilai-nilai kualitatif yang dimiliki seseorang. Akan tetapi lebih daripada itu, kemampuan kecerdasan sosiual justru mengkombinasikan semua elemen dalam kecerdasan itu sendiri.
Makanya telah lama Thorndike mengidentifikasi teori kecerdasan majemuk yang terkait erat dengan teori pikiran yang menurut Sean Foleno, kecerdasan sosial adalah kemampuan seseorang untuk memahami lingkungannya secara optimal dan bereaksi dengan tepat untuk sukses secara sosial.
Kedua Lima Aspek Penting Dalam Kecerdasan Sosial.
Ada lima aspek penting dari kecerdasan sosial tersebut. Yang pertama adalah “kesadaran situasional”, yakni bagaimana individu (pemimpin) memahami dan peka terhadap kebutuhan orang lain, hak orang lain dan yang lebih penting adalah perasaan dari orang lain. Yang kedua adalah kapasitas (capacity) atau kemampuan membawa diri (penampilan fisik, cara bersikap dan bahasa tubuh). Aspek ketiga adalah autencity, yaitu bagaimana cara berbicara dan bersikap kepada orang lain yang menunjukkan ketulusan atau keaslian dari pribadi individu yang sesungguhnya.
Aspek keempat adalah clarity, sangat terkait dengan bagaimana seorang individu dalam berkomunikasi dengan jelas, sehingga orang lain dapat mengerti maksud dari ide atau gagasan yang ingin disampaikan. Aspek kelima empati, yaitu kemampuan individu untuk memahami dan mengerti perasaan orang lain. Aspek ini menjadi sangat penting di tengah mendominasinya sikap individualis yang berkecenderungan mengabaikan nilai-nilai empati yang harus ditunjukkan oleh siapa saja, termasuk pemimpin.
Ketiga, dibutuhkan Pemimpin Yang Cerdas Secara Sosial.
Pertanyaan yang diajukan di atas, apakah seorang pemimpin membutuhkan kecerdasan itu (kecerdasan sosial)? Dalam kewajaran, “katanya” yang dibutuhkanseseorang dalam kepemimpinannya adalah kecerdasan intelektual. Bahkan menurut orang kebanyakan termasuk para ahli, kecerdasan ini (kecerdasan intelektual) merupakan kecerdasan yang paling diutamakan.
Konsekuensi dari mengarusutamakan kecerdasan intelektual adalah pengabaian terhadap kecerdasan lainnya (tidak diutamakan) walaupun ada yang menganggap bahwa itu sudah include (baca: bawaan) dalam diri seseorang termasuk pemimpin, bahwa jika cerdas secara inteletual, maka sudah barang tentu dia akan cerdas juga dalam kapasitas sosial, emosional bahkan spiritualitas.
Pandangan seperti ini yang kemudian, berdampak pada pengkultusan seorang pemimpin. Banyak sekali intitusi atau lembaga yang “hancur berantakan” jika meminjam atau menggunakan kata yang sangat kasar karena ke”aku”an sang pemimpin. Banyak pula contoh yang dapat dilihat di sekitar kita, antara lain: kasus-kasus kepailitan, pada badan usaha termasuk badan usaha milik negara misalnya, yang sebagian besar disebabkan karena ke”aku”an sang pemimpin (baca: manajer).
Apakah memang ada kesulitan bagi kita untuk menemukan seorang pemimpin seperti yang di-idealkan oleh sebuah lembaga seperti kampus misalnya?
Bukankah sebuah lembaga pendidikan tinggi pada lazimnya telah melahirkan sejumlah pandangan (atau mungkin lebih tepatnya “asumsi”) dan predikat bahwa lembaga tersebut merupakan suatu “garbah ilmiah” dan “kawah candradimuka” bagi lahirnya kaum intelektual, cerdik pandai dengan tingkat intelektualitas yang tak dapat diragukan lagi?
Mereka yang bergelut di arena kampus, terlebih sebagai seorang pemimpin, sudah tentunya diharapkan bukan hanya memiliki kapasitas akademik (kecerdasan Intelektual) yang mumpuni. , melainkan juga rekam jejak kecerdasan yang baik dalam karakter, emosional, sosial bahkan spiritualitas, sehingga dapat menjadi menjadi teladan yang dibanggakan.
Menggumuli agenda pemilihan rektor UKSW periode yang baru, kita patut bersyukur bahwa civitas akademika UKSW telah memilih orang-orang yang menurut mereka handal dan hampir-hampir memenuhi kualifikasi yang di-idealkan.
Sebagai salah satu anggota pembina yang mewakili gereja pendukung, sejujurnya saya merasa kesulitan juga untuk menentukan satu di antara tiga kandidat yang telah ada dengan tingkat kapasitas intelektual masing-masing yang sungguh tidak diragukan lagi. Apakah saya sulit memahami karakter dari para kandidat atau sulit membaca pikiran dari rekan-rekan pembina yang lain, yang jumlahnya relatif banyak (18 anggota pembina)?
Saya mencoba membaca pikiran teman-teman pembina, ternyata tidak mudah. “Sulit membaca pikiran orang lain” karena katanya yang tahu hanya dia dan Tuhan. Di manakah kesulitannya? Para ahli psikologi telah mengembangkan sebuah teori yang dapat saja digunakan untuk membaca pikiran seseorang. Hal ini sangat terkait dengan kemampuan setiap orang untuk dapat melakukan proses intuisi tentang keberadaan diri dan pikirannya lewat sebuah proses introspeksi.
Menurut para ahli, memiliki teori pikiran membuat seseorang mengatribusikan pemikiran, hasrat, dan intensinya kepada orang lain atau pada institusi yang dipimpinnya. Itu artinya sangat berelasi dengan membaca juga pikiran para kandidat yang bisa saja eksplisit (tertuang dalam dokumen masing-masing kandidat) dalam proses pemilihan atau implisit yakni kemampuan mengatribusi pemikiran, hasrat dan intensinya kepada orang lain.
Semoga goresan reflektif singkat ini bisa menjadi bekal bagi saya dan rekan-rekan pembina lainnya untuk menemukan pemimpin yang demikian, dan yang lebih utama lagi adalah pemimpin yang memiliki kecerdasan paripurna, yang diinginkan para civitas UKSW dan tentunya diperkenankan oleh Tuhan, Sang Pemilik gereja dan UKSW !
Penulis adalah Pembina, YPTKSW-Salatiga dan mantan dirjen Pembimas Kristen Kementerian Agama RI