Jakarta t3lusur.com Acara Webinar Forum Silaturrachmi Keraton Nusantara yang diselenggarakan Minggu, 27 Februari 2022 Memapar Nawa Aksara Nusantara sebagai gerakan kesadaran kebangkitan spiritual untuk masyarakat Keraton yang terkait dengan spiritual kenegaraan. Demikian ungkap Eko Sriyanto Galgendu yang tampil bersama sebagai nara sumber Mayor Jendral Rido Hermawan M.Sc, Tenaga Ahli Pengajar Bidang Kewaspadaan Nasional Lemhannas (Lebaga Pertahanan Nasional) dengan moderator Prof. Dr. Ir. Kray. Naniek Widayati Priyomarsono M.T, Sekretaris Jendral FSKN (Forum Silaturrachmi Keraton Nusantara) dan diikuti sejumlah tokoh, Raja dan Ratu serta masyarakat adat yang menaruh minat dan kepedulian terhadap budaya suku bangsa Nusantara.
Eko Sriyanto Galgendu mengawali paparannya tentang Spiritual Kenegaraan Pujangga “Rahja” dalam konteks “Nawahaksara Nusantara” yang mengacu pada “jongko jangka ing jagat” sebagai proses besar evolusi peradaban yang bergantung pada ruang dan waktu. Atas dasar itu, saatnya sekarang memasuki jaman kebangkitan spiritual akan Kembali muncul dari Timur. Karena kebangkitan spiritual tidak mungkin berlangsung di Barat. Bangsa Barat tidak mempunyai prasyarat yang cukup seperti yang dimiliki oleh bangsa-bangsa Timur, terutama Indonesia.
“Karya sastra ayat-ayat buana, seperti sandi asmo itu memiliki makna yang dalam. Apalagi bumi nusantara yang memiliki potensi kekayaan luar biasa, mulai dari bumi dan segenap sumber alam hingga budaya dan keberagaman agama yang ada di Indonesia sekarang, semua sarat dengan nilai-nilai spiritual sebagai bagian dari anugrerah Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Dalam siklus perubahan setiap tujuh abad pertama ditandai oleh kelahiran Nabi Isa Alaihisalam. Lalu pada siklus tujuh abad kedua kembali ditandai oleh kehadiran Nabi Besar Muhamad SAW. Kemudian memasuki siklus perubahan tujuh abad babak ke ketiga ditandai oleh masa kejayanya suku bangsa nusantara seperti Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya dan sejumlah kerajaan besar lainnya di nusantara ini hingga mempopulerkan istilah Nusantara yang memiliki makna meliputi sejumlah wilayah yang cukup luas di belahan bumi bagian Timur.
Atas dasar itulah, waktu kebangkitan suku bangsa nusantara – yang kemudian menjadi Indonesia – mulai bangkit kembali hingga kelak dapat melampaui masa kejayaan yang pernah dicapai para leluhur pada masa lampau itu pada awal siklus peralihan tujuh abad babak keempat sekarang ini. Jadi spiritual pujangga para raja ini, kata Eko Sriyanto Galgendu untuk menyambut era kebangkitan bangsa-bangsa Nusantara – yang telah sepakat membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia – untuk menggenggam dunia di masa depan.
Ibu Kota Negara (IKN) yang telah memiliki nama Nusantara itu akan menjadi semacam password untuk memasuki peradaban baru bagi bangsa Indonesia di masa mendatang. “Karena negara Indonesia memerlukan semacam payung agung yang dimiliki oleh para Sultan, Raja dan Ratu serta masyarakat adat yang memiliki beragam kearifan local untuk membangun bangsa dan negara yang lebih baik dan sejahtera, sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 dan Pancasila.
Dalam konteks keberadaan Garuda Pancasila, sebelumnya suku bangsa Indonesia telah memiliki Garuda Sangga Buana dan Garuda Wisnu, hingga kemudian baru memiliki Garuda Pancasila seperti yang mampu mempersatukan bangsa Indonesia samoai sekarang. Untuk itulah, ujar Eko Sriyanto Galgendu, sembilan haksara Nusantara akan dia persembahkan kepada Raja, Ratu dan Sultan untuk menjadi pedoman dan petunjuk sekaligus menandai momen penting sebagai pengingat dalam langkah dan perjuangan bagi para Raja, Ratu dan Sultan untuk kembali berkiprah membangun bangsa dan negara sebagai warisan dari para leluhur dari berbagai bentuk kerajaan yang kemudian menjadi satu republik yang bernama Indonesia.
Mayor Jendral Rido Hermawan M.Sc yang tampil kemudian mengawali paparannya dari makna cakra penggilingan sebagai wujud dari roda kehidupan yang terus berputar – meliputi fisik dan non fisik – yang kekal, sebagaimana ruh atau jiwa yang menyertai raga manusia. Lalu kalatida – yang menggambarkan sikap kesombongan atau perasaan lebih tinggi maupun lebih hebat dari bangsa atau orang lain – sabgat bisa terjadi seperti yang tengah melanda bangsa Indonesia pada hari ini. Nation state yang harus dipahami sebagai suatu negara yang terdiri dari beragam suku bangsa, pun mulai dilupakan, kata Jendral Rido Hermawan. Sementara State Nation terus dikedapankan, tak lagi ada kebanggaan untuk menyebut diri sebagai bangsa Bugis, bangsa Jawa dan bangsa-bangsa lain yang ada di Nusantara.
Karena itu bagi bangsa Indonesia – yang berasal dari berbagai suku bangsa di nusantara ini – harus tetap merasa memiliki negara ini. Dalam persektif inilah relevansi dari keberadaan masyarakat keraton dan masyarakat adat – yang dapat direfresentasikan oleh Raja, Ratu dan Sultan serta tokoh masyarakat adat – sangat diperlukan memiliki posisi dan fungsi untuk ikut aktif membangan bangsa dan negara.
Pemikiran serupa ini sesungguhnya yang hendak disampaikan peserta webinar lainnya dari Bogor yang sengaja ikut bergabung bersama di Sekretariat Atlantika Insitut, saat acara berlangsung. Hanya saja waktu dan kesempatan yang tidak cukup pendistribusiannya. Padahal, menurut Rahmayanti acara webinar seperti yang dilaksanakan FSKN (Forum Silaturachmi Keraton Nusangtara) sungguh sangat bermanfaat sekali memperoleh masukan dari rakyat jelata yang murni dan tulus untuk menyampaikangagasan dan pemikirannya.
Adapun dasar pemikiran Rahmayanti sangat logis dan nyata ingin mempertegas eksistensi, peran serta fungsi masyarakat keraton dan masyarakat adat yang selama ini terkesan dipinggirkan oleh pemerintah Indonesia – sehingga tampak jelas dan nyata melupakan asal muasalnya bangsa dan negara Indonesia berasal dari suku bangsa nusantara. Sehingga, Rahmayanti pun merasa perlu untuk mengungkapkan pemikiran dan pemahamannya terkait dengan bencana – mulai dari gempa bumi, angin rebut hingga banjir di mana-mana yang disertai tanah longsong dan pergerakan bumi yang sangat fenomenal itu hingga pandemic copid-19 dan varian Omicron, sungguhkan sebagai akibat dari abainya warga bangsa Indonesia terhadap nillai-nilai yang bersifat ilahiah, sehingga kebobrokan moral, etika dan akhlak manusia Indonesia telah ambruk (seperti yang pernah ditulis Bang Jacob Ereste itu), sungguhkah memang seiring dengan bencana yang terus menerus menghampiri Indonesia ?
Demikian pula pengabaian terhadap peranan Sultan, Raja dan Ratu serta masyarakat adat yang sesungguhnya sebagai pemilik sah dari negeri ini. Karena apapun yang dilakukan oleh mereka kemudian, tidak akan memiliki arti apa-apa, langtaran kerakusan dan kesewang-wenangan dalam menjalankan praktek kekuasaan tidak lagi memiliki etika, moral dan akhlak. Semua ide dan gagasan yang akan disamoaikan para Raja, Ratu dan Sultan serta masyarakat adat itu hanya akan menjadi semacam pungguk yang merindukan rembulan. Karena itu, gagasan dan sikap ugahari spiritual seperti yang digagas PGI (Persekutuan Gereja Indonesia) perlu menjadi bagian dari perenungan guna menjernihkan pemikiran dari kepongahan.
Rahmayani pun, mengusulkan agar FSKN dapat terus membangun budaya atau tradisi dialog – agar bisa lebih banyak mendengar suara rakyat – jika memang masih dapat dipercaya sebagai suara Tuhan, katanya serus dengan penuh semangat. Lantaran essensinya dari seminar maupun diskusi yang terpenting adalah bagaimana memberikan peran Raja, Sultan dan Ratu dalam pergerakan kebangkitan kesadaran spiritual banga untuk membangun negara yang kuat dan Tangguh, seperti yang dicita-citakan Bung Karno, yaitu berdaulat secara politik, mandiri dalam ekonomi dan berkeperibadian dalam budaya. Karena itu, dia pun mendukung keseriusan FSKN untuk melakukan kalaborasi dengan GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia), setidaknya dengan begitu kegiatan serupa dapat terus dilakukan dan akan mempercepat gerakan kebangkitan kesadaran spiritual di Indonesia, tandasnya. Catatan Jacob Ereste dari Webinar FSKN :
Jakarta, 27 Februari 2022