Forum Diskusi Ekstra Mingguan GMRI Memasuki Wilayah Tasawuf Tentang Makna Bumi, Langit dan Matahari

Liputan
Bagikan:

T3lusur Jakarta Karena Kiyai Haji Muhammad Ghufron tak bisa hadir pada acara diskusi rutin mingguan Kamis-Senin di Sekretariat GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) Jl. Ir. H. Juanda No. 4 A, Jakarta Pusat, forum diskusi ekstra terpaksa ditambah pada hari Rabu, 29 Oktober 2025 dengan beragam topik, mulai dari masalah haji Indonesia hingga pemantapan rencana launching “Kitab MA HA IS MA YA” yang semakin matang untuk dipublish kepada masyarakat luas melalui komunitas yang ada, utamanya dari kalangan umat beragama.

Istilah Brigjen Pol. Benny Iskandar Hasibuan semacam “test ombak” terhadap respon masyarakat tentang kumpulan do’a untuk 79 tokoh dari berbagai profesi dan latar belakang yang memiliki kedekatan atau kesamaan frekuensi spiritual yang bangkit dari Indonesia hingga bergema ke berbagai negara yang sangat dibutuhkan sebagai pegangan hidup agar dapat lebih mengedepankan etika, moral dan akhlak mulia manusia supaya dapat segera menghentikan kerusakan di bumi.

Pembacaan ulang do’a kepada Ustad Ghufron yang sudah lahir dari spontanitas acara pembacaan do’a non stop selama 20 jam pada 2 Agustus 2025 di Auditorium Kantor Berita Antara, Jakarta Pusat, langsung didengar kembali oleh yang bersangkutan, dengan komentar dari Benny Iskandar Hasibuan dalam kata kunci “Pilihan dan Kesaksian” yang sungguh menyentuh kondisi senyatanya yang terjadi pada hari ini. Sehingga menyiratkan getaran frekuensi spiritual yang saling bertaut antara pembaca do’a dengan do’a untuk Sang Kiyai.

Ustad Ghufron sendiri memang yang membuka acara pembacaan do’a untuk ke 79 tokoh yang dilakukan oleh Sri Eko Sriyanto Galgendu pada 2 Agustus hingga 3 Agustus 2025 dengan wasilah sebagai pembuka frekuensi yang menggedor langit, sehingga bisa diharap kehadiran kekuatan para leluhur untuk merestui acara do’a dalam waktu 20 jam non stop untuk 79 tokoh sebanyak 26 orang diantaranya yang telah wafat.

BACA  Ali Basya Didapuk Secara Aklamasi Jabat Ketua DPC Peradi RBAJaktim

Lalu dimensi filosofis dalam konteks spiritualitas pun makna langit sebagai ekspresi dari kesadaran (mi’raj), dan bumi yang bermakna sebagai kesabaran hingga matahari adalah simbolika dari ekspresi cinta (Nur Cahaya) menjadi bagian dari topik bahasan yang membuka cakrawala memasuki wilayah tasawuf yang mengasyikkan. Hadir juga Joyo Yudhantoro, Guntur Tjahyadi bersama Momok dan kawan-kawan. Sementara yang lain  lantaran acara spesial dan dadakan, tak sempat hadir seperti biasanya.

Namun topik tentang makna langit sebagai ekspresi kesadaran dan pemahaman spiritual dapat dibayangkan semacam proyeksi dari ruang yang tinggi, dimana jiwa manusia dapat terhubung dengan ilahi Rabbi — ruang kontemplasi batin dan mi’raj ruhani. Sedangkan bumi — sebagai simbolika dari rasa kesabaran adakah kasih sayang Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Karena bumi bersedia menampung segala bentuk penderitaan, memberi tempat bagi kehidupan, dan menjadi simbolika dari keteguhan serta kasih ilahi yang tiada permanai dalam memelihara dan melakukan penjagaan.

Lalu matahari sebagai perlambang cinta yang menerangi dan memberikan energi untuk kehidupan tidak hanya bagi makhluk hidup, tapi juga bagi tetumbuhan dan batuan yang ada alam semesta mendapat nur cahaya Tuhan. Dia menerangi tanpa pilih kasih dengan segenap cinta ilahiah — membangkitkan kehidupan dalam kesadaran setiap jiwa yang ada.

Ibaratnya seperti karya sastra yang memiliki ruh, kata Ustad Ghufron, karena karya tersebut — seperti ciptaan Tuhan — mempunyai rangkaian atau jalinan yang sempurna tanpa cacat. Contohnya seperti mesin yang acap dikatakan bisa hidup dan menjalankan berbagai jenis kendaraan, dapat dikatakan hidup karena sesungguhnya memiliki daya dan kekuatan yang mampu menggetarkan kehidupan.

Maka itu karya sastra yang dapat dikatakan hidup itu, setidaknya memiliki “ruh” yang tidak hanya dapat dipahami secara intelektual keilmuan, tapi juga dapat dimengerti oleh kemampuan dan kecerdasan spiritual. Karena adanya kemampuan dalam kekuatan penggugah jiwa dan raga. Semua itu seperti makhluk ciptaan Tuhan  yang dibangun dengan rangkaian yang utuh. Sempurna seperti struktur, irama dan diksi serta simbol yang menyatu hingga harmoni seperti manusia yang memiliki ruh dan jiwa.

BACA  Tausiah Dari Bursah Zarnubi Dalam Acara Ulang Tahun Versi Aktivis ProDem

Ibarat karya sastra yang hidup itu, jelas menyimpan kedalaman makna — melampaui kata-kata — yang menyentuh realitas batin atau dimensi spiritual setiap orang yang mampu membaca dan memaknainya. Karena memang karya sastra yang dikatakan hidup itu, memang memiliki ruh estetik dan etis — tak sekedar indah, tetapi juga menyampaikan pesan yang penuh makna secara moral dan eksistensial. Dan semua itu jelas dan pasti bersumber dari kejernihan dan ketulusan hati serta jiwa penulis karya sastra tersebut. Karena sang penulis, tak hanya melakukannya dengan segenap isi kepalanya, tetapi yang lebih utama dan penting dia menulis dengan hati yang ikhlas dan jujur.

Pada intinya, ruh karya sastra yang ada seperti karya tulis yang lain itulah yang membuatnya hidup, seakan abadi dan hidup sepanjang masa dan melintasi jaman ke jaman. Dalam perspektif serupa inilah seorang penulis berkarya dengan penuh kesadaran dan kejujuran, karena dia sesungguhnya  dalam dimensi dan perspektif yang lain sesungguhnya tengah melukis batu nisan dirinya sendiri.

Penulis Jacob Ereste

Pecenongan, 29 Oktober 2025

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *