Jadi Korban Scam Investasi Online, Apakah Uang Bisa Kembali?

Opini
Bagikan:

Oleh: Dian Bagaskara (Kabid. Advokasi & Hukum PEWARNA INDONESIA DPD Jateng)

T3lusur Sragen Fenomena investasi online kini menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, teknologi membuka akses mudah bagi masyarakat untuk berinvestasi secara digital. Namun di sisi lain, ruang siber juga melahirkan banyak modus penipuan atau scam berkedok investasi. Dari trading platform, crypto mining, hingga “robot profit harian”, ribuan korban di Indonesia telah kehilangan miliaran rupiah.

Pertanyaan besar pun muncul:
Apakah uang yang sudah hilang akibat scam investasi online masih bisa dikembalikan?
Jawabannya tidak sederhana, karena bergantung pada sejumlah faktor hukum, teknis pelacakan, dan kebijakan aparat penegak hukum.

Memahami Apa Itu Scam Investasi Online
Scam investasi online adalah modus penipuan digital yang menawarkan keuntungan tinggi tanpa risiko melalui aplikasi, situs web, atau grup media sosial. Ciri-cirinya hampir selalu sama:

Menjanjikan profit tetap per hari/minggu.
Tidak memiliki izin dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan) atau Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi).
Menggunakan sistem referral atau multi-level marketing tanpa produk nyata.
Menyulitkan penarikan (withdraw) dana korban.

Beberapa kasus besar seperti E-Dinar Coin (2016), Robot Trading Net89 (2022), DNA Pro (2022), FEC (2023) hingga kasus Econext Ventures (2025) yang menunjukkan pola yang sama: uang masyarakat dikumpulkan lewat janji investasi digital, lalu founder melarikan diri atau mematikan sistem.

Payung Hukum: Penipuan dan Pencucian Uang

Secara hukum, korban investasi bodong dapat menempuh jalur pidana dan perdata.
Berikut penjelasannya:
1. Jalur Pidana: Penipuan dan ITE
Kasus scam investasi masuk dalam Pasal 378 KUHP tentang penipuan dan dapat diperkuat dengan Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang melarang penyebaran informasi menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen di internet.

BACA  Ambisi Manusia Yang Sudah Ingin Mengkudeta Otoritas Kekuasaan Tuhan

Jika pelaku terbukti melakukan penipuan dengan sengaja, ancaman hukumannya bisa mencapai 4 tahun penjara, bahkan lebih jika melibatkan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Namun, proses hukum pidana tidak otomatis mengembalikan uang korban. Tujuan utama jalur pidana adalah menghukum pelaku, bukan memulihkan kerugian keuangan korban.

2. Jalur Perdata: Gugatan Ganti Rugi
Korban dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan dengan dasar wanprestasi (Pasal 1243 KUHPerdata) atau perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata).
Melalui jalur ini, hakim dapat memerintahkan pelaku mengembalikan dana atau membayar ganti rugi.

Namun hambatannya besar:
Pelaku sering tidak memiliki aset legal yang bisa disita. Aset telah dialihkan ke rekening luar negeri atau aset kripto.
Proses perdata memakan waktu dan biaya tinggi.

Pelacakan Dana: Mungkinkah Uang Kembali?
Dalam beberapa kasus, uang korban memang bisa dikembalikan, tapi dengan syarat-syarat ketat: Pelaku masih bisa ditangkap dan rekeningnya belum sempat dikosongkan. Aset pelaku berhasil dibekukan oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) atau Kejaksaan.
Ada bukti transfer dan dokumen transaksi yang lengkap dari korban.

Jika tiga faktor ini terpenuhi, korban dapat ikut dalam mekanisme restitusi atau pengembalian aset hasil kejahatan (Pasal 98 KUHAP).

Namun, jika uang telah diputar atau dikonversi ke aset kripto tanpa jejak, peluang pengembalian sangat kecil.

“Secara praktik, hanya 10–20% korban yang berhasil mendapatkan sebagian uangnya kembali,” ujar praktisi hukum siber, Andi Hamzah, S.H., dalam diskusi Hukum Digital 2024.

Peran OJK, Bappebti, dan PPATK
OJK berwenang menindak entitas keuangan ilegal yang tidak memiliki izin usaha, serta melaporkan ke kepolisian.
Namun OJK tidak bisa langsung mengembalikan uang korban, karena bukan lembaga penegak hukum.

BACA  Membangun Jiwa dan Raga Bangsa

Bappebti mengawasi perdagangan berjangka, forex, dan kripto. Situs-situs trading tanpa izin akan diblokir bekerja sama dengan Kominfo.
Tetapi, pemblokiran bukan berarti dana korban otomatis kembali.

PPATK berperan penting dalam menelusuri aliran dana hasil penipuan.
Melalui kerja sama dengan bank dan kepolisian, PPATK dapat membekukan rekening pelaku sebelum dana dipindahkan. Di sinilah letak kunci utama peluang pemulihan aset.

Langkah Hukum untuk Korban Scam
Berikut panduan konkrit bagi korban agar peluang uang kembali lebih besar:
Segera laporkan ke pihak berwajib (Polri, Cyber Crime Bareskrim, atau Polda). Laporkan juga ke OJK atau Bappebti jika platform berkaitan dengan investasi keuangan.

Kumpulkan semua bukti digital: tangkapan layar aplikasi, riwayat transaksi, nomor rekening, kontrak digital, dan komunikasi dengan admin.

Laporkan rekening pelaku ke PPATK agar bisa diblokir. Bergabung dengan sesama korban untuk membuat laporan kolektif. Semakin banyak korban, semakin kuat posisi hukum.

“Jangan menunggu. Setiap jam berharga. Begitu dana berpindah ke rekening luar negeri, peluang pembekuan nyaris nol,”
kata Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, (2024).

Solusi Sistemik: Pencegahan Lebih Efektif daripada Pemulihan
Karena pengembalian uang korban sangat sulit, fokus nasional seharusnya bergeser dari “penyembuhan” ke “pencegahan.”
Beberapa langkah strategis yang perlu diperkuat:

Sistem Deteksi Dini Digital
OJK dan Bappebti perlu membangun basis data publik real-time berisi daftar situs dan aplikasi investasi ilegal yang bisa diakses semua orang.

Kominfo wajib menutup situs ilegal dalam waktu 24 jam setelah verifikasi, bukan berbulan-bulan.

Edukasi Literasi Finansial Digital

Kampanye “Cek Legalitas Sebelum Investasi” harus menjangkau media sosial tempat scam banyak beredar.
Sekolah, kampus, dan gereja/masjid bisa menjadi ruang literasi keuangan digital.

BACA  RR ITU RIZAL RAMLI BUKAN DIA

Regulasi Aset Kripto yang Lebih Kuat
Banyak scam menggunakan kripto untuk mencuci dana.
Bappebti dan OJK perlu memperketat verifikasi crypto exchange agar setiap transaksi dapat dilacak.

Unit Pengembalian Aset Nasional
Pemerintah bisa membentuk “Recovery Fund Unit” lintas lembaga (OJK, PPATK, Kepolisian, dan Kejaksaan) untuk menelusuri dan mengembalikan dana hasil kejahatan digital lintas negara.

Bagi korban scam investasi, realitas pahitnya adalah: uang yang hilang hampir tidak mungkin kembali sepenuhnya.
Sistem hukum Indonesia belum seefektif negara-negara maju dalam pelacakan aset digital lintas yurisdiksi. Namun bukan berarti tidak ada harapan.

Dengan bukti lengkap, laporan cepat, dan kolaborasi antara aparat serta lembaga keuangan, sebagian dana masih bisa diselamatkan. Yang lebih penting, kasus-kasus besar harus menjadi pelajaran nasional agar masyarakat tidak lagi terjerumus dalam iming-iming “cuan cepat tanpa risiko.”

Sebagaimana tertulis dalam Amsal 13:11:
“Harta yang cepat diperoleh akan berkurang, tetapi siapa mengumpulkan sedikit demi sedikit, menjadi kaya.”

Daftar Pustaka;
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 378.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Daftar Investasi Ilegal (Update 2025).

Bappebti, Laporan Tahunan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi dan Kripto 2024.

PPATK, Statistik Pembekuan Rekening Terkait Penipuan Daring 2024.

Kominfo RI, Laporan Pemblokiran Platform Investasi Ilegal 2023–2025.

Andi Hamzah, S.H. (2024). Diskusi Hukum Digital: Kejahatan Siber dan Perlindungan Konsumen Finansial.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *