Oleh Jacub Ereste
T3lusur.com Jakarta Semakin banyak yang mampu diketahui, maka akan semakin lebih banyak sesungguhnya yang belum diketahui. Karenanya, kejumawahan terhadap ilmu, pengetahuan dan teknologi yang paling mutakhir sekalipun, sesungguhnya tidak pantas untuk disombongkan. Sebab diatas langit masih ada langit itu, maknanya adalah kesadaran untuk meneguhkan sikap yang ugahari.
Di dalam berbagai kesempatan dan tempat diskusi atau seminar hingga simposium sekalipun, kegandrungan semua orang ingin pasang omong. Meski apa yang dikemukakannya tidak cukup relevan dengan topik bahasan yang tengah dibidik untuk dirumuskan cara mengatasinya. Bahkan tak jarang, untuk memiliki kemampuan mengukur kapasitas diri melampaui batas. Hingga posisi offside pun dengan enteng dan tanpa dosa terus dilanggar. Padahal sesungguhnya apa yang ingin disampaikan guna menambah kecerdasan warga masyarakat justru menimbulkan kebingungan yang semakin liar.
Keyakinan diri yang melampaui takaran itu sering terjadi hanya karena ingin tampil dan tidak kalah gaya dengan penampilan pembicara yang lain. Karena itu ribuan seminar dan diskusi hingga simposium sangat sedikit yang bisa menguak jalan baru sebagai upaya menerobos dari kemacetan ilmu dan pengetahuan untuk menghantar keluar dari jalan yang sesat. Apalagi kemudian selalu diiringi oleh hasrat yang menggebu-gebu belaka tanpa pernah berusaha serius untuk mewujudkan rumusan yang telah dihasilkan itu agar tidak sekedar menjadi pengetahuan belaka.
Contoh nyata seorang penulis yang telah dijanjikan untuk menerbitkan sejumlah buku yang cukup dipercaya dapat ikut mencerdaskan kehidupan bangsa terus kembali tertunda, hanya karena pertimbangan finansial yang selalu dikalkulasikan dengan bilangan untung dan rugi tidak hanya secara material, tetapi juga moral, etika serta gengsi diri yang dianggap bisa lebih banyak menguntungkan orang lain.
Sejarah besar peradaban manusia memang tidak bisa dibuat seketika itu juga, ketika hasrat birahi sedang meletup-letup seakan mampu menenggelamkan bumi. Sejarah besar harus dibangun dengan kegigihan yang bertahap tanpa pertimbangan lain kecuali demi sejarah itu sendiri sebagai kesaksian bahwa pada suatu ketika dan pada suatu kesempatan ada kehidupan manusia yang cukup berarti untuk dikenang, meski tak pernah memberi janji untuk membuat sejarah dan peradaban berikutnya yang lebih dahsyat dan lebih hebat. Karena gerak kehidupan dari peradaban itu sendiri memiliki ritme serta caranya sendiri menggeliat dan tumbuh di tanah persemaian yang sesuai kodrat dan iradatnya.
Itulah sebabnya seorang penyair menuliskan karya terbaiknya di batu nisan yang kelak dia inginkan ditancapkan di pemakaman jasadnya. Seperti pesan seorang pelukis lewat kanvas karyanya menggambarkan tatapan nanar dalam bentuk mata hati dari dunia yang gelap. Hingga mampu meyakinkan dirinya sendiri — diakhir jaman kelak — akan bercengkerama dengan semua malaikat yang berada di Surga.
Tentu lain dengan cerita dari seorang koruptor kakap yang ulung dan lihai, hingga dalam beberapa periode kekuasaan dia mampu untuk terus bertahan dan melancarkan ambisi dan kehendaknya menjadi manusia paling kaya raya di negerinya yang banyak dihuni oleh rakyat-rakyat miskin. Sehingga dia pun jadi percaya bila di Surga maupun di neraka kelak semua masih bisa dia atur dengan kekuatan finansial yang dimilikinya sampai hari ini di ujung kematian dirinya yang renta.
Agaknya, seperti itulah maksud dari para demonstran pejuang keadilan bagi rakyat yang sudah serak meneriakkan kezaliman rezim penguasa yang memper-Tuhan-kan Keuangan Yang Maha Kuasa, sehingga suara rakyat tidak lagi dipercaya sebagai suara Tuhan. Begitu juga sebaliknya, suara Tuhan tak lagi mampu disuarakan oleh rakyat. Dalam istilah Komjen Pol. Dharma Pongrekun, begitulah keangkuhan manusia hari ini yang penuh ambisi melakukan kudeta terhadap otoritas kekuasaan Tahun.
Penulis Wartawan sinior dan pengamat sosial budaya
Banten, 14 Desember 2023