T3lusur Jakarta, 25 November 2025 – Hari Guru Nasional, yang diperingati hari ini, menjadi momentum untuk menggemakan kembali peran penting guru dalam situasi bangsa dan dunia yang majemuk. Guru adalah teladan sekaligus model dalam merawat kerukunan dan kohesi sosial.
Hal itu disampaikan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, dalam Webinar Internasional Seri Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) dalam rangka Hari Guru Nasional yang diadakan Direktorat Jenderal Guru, Tenaga Kependidikan, dan Pendidikan Guru Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan Institut Leimena, Senin (24/11) malam.
“Guru memiliki peranan sangat penting, tidak hanya menjadi agen pembelajaran tapi agen peradaban, sehingga guru dapat menjadi teladan dan model bagaimana hidup rukun, bagaimana hidup bersama dengan mereka yang berbeda-beda,” kata Abdul Mu’ti dalam webinar dihadiri lebih dari 3.100 peserta dari dalam dan luar negeri.
Mendikdasmen mengatakan pluralitas adalah realitas sekaligus ciri masyarakat multikultural dan dunia yang semakin global. Pluralitas bisa menjadi aset, modal sosial, bahkan modal moral untuk membangun masyarakat yang lebih terbuka dan saling menghormati.
Di sisi lain, ia mengakui masih ada kendala yang menyebabkan terjadinya segregasi dan sekat antar kelompok, sehingga Kemendikdasmen melalui program 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, khususnya kebiasaan bermasyarakat, berusaha menjadikan sekolah sebagai “meeting point” dan “melting point” dimana murid dari berbagai suku dan agama saling bertemu dan berinteraksi serta bisa bekerja sama satu sama lain.
“Perbedaan adalah kekayaan yang memungkinkan kita saling mengisi satu sama lainnya. Perbedaan adalah kekuatan yang membuat kita bisa memiliki perspektif dan jaringan semakin luas, sesuai slogan Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika,” kata Abdul Mu’ti.
Mu’ti menegaskan pelaksanaan Webinar Internasional LKLB bermakna untuk menjadikan kerukunan sebagai sebuah budaya dan sistem nilai yang mempersatukan masyarakat yang berbeda-beda.
“Guru sekali lagi punya peran sangat penting untuk memberikan keteladanan dan apresiasi kepada para muridnya yang memiliki jiwa saling terbuka, saling memahami, dan siap bekerja sama satu sama lainnya,” katanya.
Direktur Jenderal Guru, Tenaga Kependidikan, dan Pendidikan Guru Kemendikdasmen RI, Nunuk Suryani, mengatakan guru berperan penting dalam pembentukan karakter dan kewarganegaraan peserta didik. Guru merupakan teladan, motivator, dinamisator, evaluator, dan inspirator yang secara langsung membentuk perilaku, nilai moral, dan pola pikir murid.
“Melalui keteladanan dan interaksi sehari-hari, guru menjadi figur yang mendorong peserta didik untuk mengembangkan sikap disiplin, empati, rasa ingin tahu, kemampuan menyelesaikan masalah. Peran ini membuat guru bukan sekadar penyampai ilmu, tetapi membentuk fondasi moral yang membedakan generasi kuat dan berkarakter,” kata Nunuk.
Nunuk menjelaskan, dalam konteks lebih luas, upaya untuk memperkuat peran guru dalam merawat kemajemukan menjadi semakin penting di kawasan Asia Tenggara. Hal itu telah dituangkan dalam Visi ASEAN 2045 “Our Shared Future” yang berisi komitmen negara-negara ASEAN untuk memperkuat masyarakat inklusif, damai, dan kohesif.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan Visi ASEAN 2045, atau untuk 20 tahun ke depan, mendorong secara eksplisit Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) dalam rangka menciptakan “komunitas yang inklusif dan kohesif”. Program LKLB di Indonesia, yang sejauh ini telah diikuti 10.000 lebih guru dari 38 provinsi di Indonesia, telah menjadi model bagi sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara untuk membangun kemampuan guru yang mampu menghargai perbedaan dan bekerja sama dengan orang lain yang berbeda agama dan budaya.
Matius menyatakan peran guru tidak hanya mendidik tenaga kerja masa depan, tetapi bahkan yang lebih penting lagi adalah mendidik manusia seutuhnya, sebagai anggota masyarakat, bangsa, dan negara yang mampu ikut membangun solidaritas antar sesama warga negara dan manusia terlepas dari latar belakang agama, suku, dan ras yang berbeda,”
“Bayangkan kalau generasi masa depan kita hanya sekedar pintar, tapi tidak punya karakter moral etika yang baik dan tidak peduli yang namanya tanggung jawab sebagai warga negara,” kata Matius.
Director Singapore Centre for Character and Citizenship Education Singapore, Tan Oon Seng, mengingatkan bahwa guru tidak bisa bekerja sendiri. Guru kerap disalahkan atas banyak masalah dalam masyarakat, namun tidak mengakui bahwa masyarakat juga harus bekerja sama dengan guru agar mereka dapat memainkan peran dengan baik.
“Guru bukan hanya guru untuk mata pelajaran, tapi mereka juga sebagai pembelajar. Mereka adalah para penjaga nilai dalam masyarakat kita,” kata Tan.
Staf Khusus Mendikdasmen, Arif Jamali Muis, mengatakan penerapan Literasi Keagamaan Lintas Budaya akan mendukung kemampuan generasi masa depan dalam membangun nilai-nilai inklusivitas dan toleransi. Indonesia sendiri, ujarnya, memiliki tantangan karena masih adanya benih intoleransi dan keterbatasan pemahaman guru dan murid tentang keberagaman.
“Kalau tidak hati-hati, sekolah juga bisa menjadi tempat rentan terhadap perkembangan dan pemikiran radikalisme,” kata Arif.
Head of the Social Cohesion Research Programme, RSIS, Nanyang Technological University,
Leong Chan Hoong, mengatakan upaya membangun kohesi sosial sangat penting di Asia Tenggara karena kawasan tersebut sangat beragam terdiri dari 11 negara, lebih dari 700 juta penduduk dengan lebih dari 25 ribu pulau dengan ratusan bahasa serta mewakili semua agama besar dan sistem politik.
“Kerukunan sangat penting di ASEAN tidak hanya untuk stabilitas tapi juga rasa kebangsaan bagi setiap masyarakatnya,” kata Leong.
Sementara itu, Guru Besar Kajian Budaya dan Isu Gender Universitas Muhammadiyah Malang, Trisakti Handayani, dan Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Muhammad Thohir, menekankan literasi keagamaan lintas budaya sebagai pedagogi untuk mengembangkan karakter saling percaya dan kolaborasi dengan orang lain yang berbeda agama. Mereka mengatakan pedagogi untuk berinteraksi dengan orang lain yang berbeda harus dilakukan secara sengaja dan sistematis sehingga bisa menjadi budaya dalam masyarakat.
