Oleh : Riskal Arief, S.Sos.
Periset Senior di Nusantara Centre
Segerakan hilirisasi rempah. Kini, Indonesia memasuki fase strategis baru seiring arah pembangunan nasional yang dituangkan dalam RPJMN 2025–2029 dan RPJPN 2025–2045.
Dengan kekayaan hayati yang menjadikan Indonesia salah satu produsen rempah terbesar di dunia, hilirisasi bukan sekadar program industrialisasi, melainkan instrumen untuk meningkatkan nilai tambah, memperkuat struktur ekonomi, dan mempercepat transformasi menuju negara berpendapatan tinggi.
Dalam RPJMN 2025–2029, pemerintah menegaskan pentingnya melanjutkan dan memperluas hilirisasi berbasis sumber daya alam sebagai upaya memperkuat kapasitas industri domestik. Rempah merupakan salah satu sektor yang selaras dengan mandat ini karena memiliki potensi besar namun belum optimal diolah dalam bentuk produk bernilai tambah tinggi.
Dukungan regulatif semakin jelas melalui Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang RPJPN 2025–2045 yang menempatkan penguatan industri pengolahan sebagai fondasi utama strategi pembangunan jangka panjang. RPJPN menegaskan bahwa pengolahan lanjutan (downstreaming) harus diarahkan untuk menciptakan daya saing struktural, memperkuat ekspor bernilai tinggi, dan mengurangi ketergantungan pada komoditas mentah.
Rempah Indonesia selama ini lebih banyak diekspor dalam bentuk bahan baku, sehingga negara kehilangan peluang ekonomi yang sangat besar. Ketika nilai sebuah komoditas meningkat berkali lipat setelah memasuki rantai industri farmasi, kosmetik, makanan fungsional, atau jamu modern, hilirisasi menjadi pilihan rasional sekaligus keharusan strategis.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Pemanfaatan Jamu memperkuat dasar kebijakan hilirisasi rempah dengan menempatkan jamu sebagai bagian dari strategi kesehatan nasional, ekonomi domestik, dan diplomasi budaya. Perpres tersebut menekankan integrasi riset, standarisasi, industrialisasi, serta promosi global produk jamu dan herbal.
Hal ini memberikan landasan kuat bagi pengembangan industri turunan rempah yang lebih kompleks, dari ekstrak standar, essential oil berkualitas farmasi, kosmetik alami, hingga fitofarmaka. Perpres ini juga membuka peluang untuk memperluas pasar ekspor jamu Indonesia yang masih tertinggal dibanding Tiongkok dan India, dua negara yang berhasil membangun industri kesehatan tradisional berskala global.
Selaras dengan visi Indonesia Emas 2045, hilirisasi rempah berperan penting dalam agenda transformasi ekonomi. Pengolahan lanjutan rempah-rempah mendorong peningkatan produktivitas, inovasi teknologi, dan penciptaan lapangan kerja berkualitas. Jika hilirisasi dijalankan secara konsisten, kontribusi industri berbasis rempah dapat memperkuat struktur manufaktur nasional, sekaligus mendukung target pendapatan per kapita setara negara maju pada 2045.
Dalam konteks ketahanan nasional, hilirisasi rempah juga menjadi bagian dari program “Memantapkan Sistem Pertahanan Keamanan Negara dan Mendorong Kemandirian Bangsa” sebagaimana dirumuskan dalam RPJPN. Kemandirian bangsa tidak hanya ditentukan oleh kemampuan pertahanan fisik, tetapi juga oleh kapasitas ekonomi domestik dalam sektor strategis seperti pangan, energi, air, ekonomi digital, ekonomi syariah, dan ekonomi hijau.
Industri rempah dan herbal yang kuat akan memperkuat kemandirian bahan baku obat, nutraseutikal (produk berbahan dasar pangan alami yang memiliki manfaat Kesehatan), dan kosmetik, sehingga mengurangi ketergantungan impor dan meningkatkan ketahanan nasional. Lebih jauh, hilirisasi rempah masuk dalam Kegiatan Prioritas Pengembangan Industri Kosmetik dan Farmasi serta Proyek Prioritas untuk implementasi Perpres Jamu.
Artinya, posisi rempah bukan sekadar komoditas pertanian, melainkan bagian dari ekosistem industri kesehatan dan kecantikan yang bernilai tinggi. Industri kosmetik dan farmasi global tumbuh stabil setiap tahun, dengan tren “ natural-based products ” yang kian dominan.
Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain kunci bila mampu mengintegrasikan riset, standardisasi mutu, teknologi ekstraksi, dan branding global.
Dengan demikian, urgensi hilirisasi rempah Indonesia tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi, tetapi juga menyinggung dimensi strategis: kemandirian bangsa, ketahanan nasional, dan transformasi menuju struktur ekonomi modern.
Melalui dukungan kebijakan yang semakin kuat, momentum hilirisasi rempah menjadi “harga mati” agar Indonesia mampu meneguhkan kembali posisinya sebagai pusat peradaban rempah dunia dan tidak tertinggal dalam perlombaan untuk menjadi kekuatan ekonomi global di masa depan.(*)
