Oleh: Riskal Arief
Periset Nusantara Centre
“Yang berkuasa itu bukan mereka yang duduk di kursi kekuasaan, melainkan mereka yang membiayai dan membeli kursi.” – Yudhie Haryono (2025).
T3lusur Jakarta Indonesia hari ini bukan sekadar negara yang dipimpin oleh pemerintahan terpilih secara elektoral. Ia juga, bahkan utamanya, dikuasai oleh sistem negara swasta sebuah rezim tak resmi, di mana keputusan ekonomi dan politik ditentukan oleh segelintir elite yang menguasai uang, regulasi, dan kekuasaan. Inilah wajah oligarki Indonesia hari ini: parasit legal yang beroperasi dalam jubah demokrasi.
Oligarki bukan tumbuh dari ruang hampa. Ia memiliki akar sejarah panjang dalam politik patronase sejak masa Orde Baru, saat hubungan antara penguasa dan pengusaha dilembagakan secara sistematis. Presiden Soeharto menciptakan konglomerat-konglomerat besar dengan lisensi politik, izin konsesi, dan perlindungan hukum. Ekonomi dijalankan bukan oleh pasar bebas, tetapi oleh kapitalisme kroni.
Pasca-Reformasi, kekuasaan oligarki bukannya melemah, tetapi bermutasi dan menyebar. Dengan dalih liberalisasi dan demokrasi, konglomerat masuk ke ruang politik, membeli partai, membiayai kampanye, dan memonopoli wacana publik melalui media.
“Setiap partai butuh modal, dan modal datang dari mereka yang punya kepentingan. Maka, demokrasi jadi pasar transaksi,” jelas Jeffrey Winters dalam Oligarki (2011).
Saat ini, hampir semua partai besar di Indonesia memiliki afiliasi langsung dengan pengusaha besar atau merupakan alat politik dari elite ekonomi. Aliansi ini tak ubahnya “pernikahan kepentingan”, bukan ideologi. Kebijakan ekonomi disesuaikan untuk menjamin keamanan investasi, konsesi sumber daya, dan kelangsungan bisnis para sponsor politik.
Partai politik bukan lagi alat perjuangan rakyat, tetapi saluran logistik elite. Mereka bukan bicara soal keadilan sosial, tetapi soal siapa yang bisa membiayai dapil dan menguasai mesin politik.
Negara Swasta: Monopoli, Eksploitasi, dan Anti Akal Sehat
Oligarki modern tidak sekadar mencari untung, tetapi monopoli demi keuntungan berlipat. Dan dalam setiap monopoli, lahir perilaku ekonomi yang tidak rasional dan tidak bermoral: eksploitasi tenaga kerja, manipulasi harga, penjarahan sumber daya, dan ketimpangan akses.
Eksploitasi adalah penyakit sistemik. Ia bukan sekadar kegagalan moral, tetapi strategi bisnis. Ia lahir dari sistem yang meyakini bahwa selama rakyat tidak berdaya, pasar oligarki tetap aman.
Akal sehat dan hati nurani tidak punya tempat dalam algoritma profit maksimal. Harga bahan pokok melambung, tetapi akses modal bagi rakyat tetap tertutup. Jika ada pinjaman, bunganya mencekik. Lembaga keuangan rakyat pun kalah bersaing dengan fintech predator.
Akibat dari ekonomi yang dikuasai oligarki dan dirancang untuk monopoli, maka terjadi pemiskinan struktural. Harga naik, lapangan kerja informal, akses pendidikan rendah, dan rakyat makin tergantung pada bantuan pemerintah.
Inilah strategi besar: memelihara kemiskinan sebagai pasar abadi. Rakyat miskin adalah target politik populis dan konsumen ideal bagi produk oligarki—mulai dari makanan cepat saji, pinjaman digital, hingga kampanye pemilu.
Jalan Keluar: Ekonomi-Politik Pancasila
Lawan dari sistem oligarki-kapitalistik bukan komunisme, tetapi Ekonomi Pancasila. Kita tidak bicara utopia, tetapi tentang dasar konstitusi: Pasal 33 UUD 1945. Di sanalah terletak konsep ekonomi kolektif, koperasi, dan peran negara untuk menjamin kesejahteraan. Inilah antitesa negara swasta.
Kita butuh kerja raksasa—kerja seluruh rakyat. Bukan kerja elite partai, bukan kerja birokrat, tetapi kerja akar rumput: petani, buruh, pedagang kecil, pemuda digital. Oligarki tidak akan hilang dengan wacana moral, tetapi dengan gerakan sistemik dan kolektif. Setidaknya ada tiga jalan untuk melawan negara swasta yang bisa ditawarkan, sebagai berikut:
1. Bangun ekonomi rakyat berbasis koperasi
Revitalisasi koperasi bukan nostalgia, tetapi perlawanan. Jadikan koperasi sebagai mesin produksi, distribusi, dan konsumsi rakyat. Beri akses modal yang adil, pendampingan digital, dan ekosistem pajak yang pro-komunitas.
2. Demokrasi ekonomi digital
Indonesia tidak boleh hanya menjadi pasar platform asing. Kita butuh undang-undang yang mengatur keadilan ekosistem digital: regulasi pajak, perlindungan data, dan kewajiban platform untuk memberi jaminan sosial bagi pekerja ekonomi digital (ojol, kurir, freelancer, dan lain-lain).
3. Gerakan politik baru berbasis gotong royong
Kita butuh partai atau gerakan politik yang lahir dari rakyat, tidak dibeli oleh elite. Gerakan ini harus berani membangun narasi tandingan, merebut ruang wacana publik, mengorganisasi rakyat dalam struktur kekuasaan alternatif, dan mandiri dalam hal keuangan karena dibiayai secara gotong royong oleh para anggotanya.
Indonesia menuju 2045 bukan soal angka usia kemerdekaan, tetapi tentang pilihan: apakah kita ingin menjadi negara berdaulat milik rakyat, atau tetap menjadi negara swasta yang dikuasai oleh segelintir orang? Kita tahu oligarki kuat. Tetapi sejarah selalu memberi ruang bagi perlawanan yang cerdas dan kolektif. Pancasila bukan slogan—ia adalah senjata ideologis yang belum kita gunakan dengan sungguh-sungguh. Mari kita gunakan.(*)