by Luther Kembaren
T3lusur JAKARTA – Perlu diakui berkat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di awal COVID-19, perekonomian masih tumbuh sampai tahun ini. Agak suram dibayangkan seandainya Pemerintah mengikuti tekanan para ‘komprador invisible hand’ yang ingin lock down waktu itu.
PPKM berjenjang terbukti memberi ruang gerak pelaku ekonomi. Khususnya, sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), yang jumlahnya 64 juta atau 99,9% dari jumlah pelaku usaha di Indonesia. Meski pandemi itu terasa dampak negatifnya, namun banyak juga sektor usaha yang bertahan. Bahkan banyak yang meraup cuan, seperti di industri farmasi dan alat medis.
Pun, Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan neraca perdagangan RI surplus sejak 2020-kuartal III 2022. Pada 2020, surplus perdagangan US$ 21,62 miliar, surplus di tahun 2021 sebanyak US$ 35,42 miliar, dan per November 2022 surplus tercatat US$ 50,59 miliar. Sebelum COVID-19, neraca perdagangan RI malah defisit US$ 3,59 miliar.
Data itu membuktikan bahwa Indonesia dapat memanfaatkan momentum pandemi bagi perekonomian nasional dengan kenaikan harga komoditi migas dan nonmigas di pasar global. Perdagangan malah surplus, bahkan lebih baik sebelum pandemi yang mengalami defisit.
Tapi ceritanya mungkin beda bila waktu itu pemerintah mengikuti ‘tekanan’ agar lockdown ketat. Selain mematikan ekonomi mendadak, implikasinya juga mengetarkan situasi sosial-politik dalam negeri. Misalnya, demonstrasi menolak lock-down seperti di sejumlah negara lain.
Berkat pemberlakuan PPKM yang soft, maka ada harapan perekonomian bangkit hari ini. Apalagi, Presiden Jokowi akan menyudahi kebijakan itu diakhiri tahun ini. Jelas akan menggairahkan sektor ekonomi, terutama sektor usaha yang lesu seperti properti, tourism, restoran, dan MICE.
Memang belum sempurna, tapi itu bukti masih ada kemandirian negeri ini tentang penanganan pandemi yang tidak mesti sama dengan keinginan global. Pemerintah masih rasional dan memikirkan pikiran-pikiran rakyat banyak. Di saat, para ‘influencer’ invisible hand terus mengopinikan seolah dunia ini akan roboh saja besok gegaran macam-macam pandemi.
Pandemi yang diberitakan media kerap dirasa berlebihan. Apalagi, kalau sumbernya saduran portal media asing, yang patut diduga media corong invisible hand itu. Dan, opini tentang pandemi seperti tiada ujung sudah kadung terbangun di masyarakat. Sehingga masih ada yang belum paham ketika Presiden ingin mengakhiri PPKM.
Shalom