T3lusur.com Jakarta Membangun citra diri yang palsu itu, semua orang paham, meski tak pernah dikatakan. Sebab kejujuran dan keikhlasan itu hanya dapat dilihat dan dirasakan lewat perbuatan orang yang bersangkutan. Boleh saja tampilannya culun seperti orang gunung yang belum memahami beragam peradaban manusia kebanyakan. Tetapi kejujuran dan keikhlasan itu tidak mungkin dapat dimanipulasi dengan sempurna, terlebih pada mereka yang eling kan waspodo seperti yang telah diingatkan Raden Mas Ronggowarsito.
Sikap ugahari itu pun begitu, tidak mungkin dapat dimanipulasi dengan persis sekedar untuk mengelabui banyak orang. Jadi permohonan maaf yang serius bukan dari akibat kesalahan yang dilakukan secara berulang, meski dalam bentuk Kadus dan masalah yang lain. Termasuk janji palsu hingga membangun pencitraan diri sebagai umat beragama yang terkesan paling taat dengan melakukan ritual keagamaan dalam kepura-puraan. Sebab dalam pelaksanaan dan ketekunan menjalankan ajaran dan tuntunan agama itu bukan untuk dipamerkan. Tetapi lebih mengutamakan dalam kebijakan dan perbuatan yang nyata memberi manfaat kepada banyak orang. Setidaknya, tuntunan dan ajaran agama yang baik untuk dijalankan itu tidak mendatangkan kerugian atau gangguan bagi orang lain.
Jadi, permohonan maaf dan upaya membangun citra diri yang baik itu, tidak mungkin dapat dilakukan tanpa kejujuran dan keikhlasan tanpa reserve. Permohonan maaf dan hasrat membangun pencitraan diri yang baik itu harus dilakukan dengan sepenuh rasa kerendahan hati. Jadi bukan sebagai upaya untuk penebusan dosa dari perbuatan dan kelakuan diri yang culas di masa lalu. Dan semua itu harus dipertanggung jawabkan secara lahir (di dunia) dan batin (di akhirat) yang harus dan wajib diyakini oleh orang yang mentaati semua ajaran dan tuntunan agama apapun yang dipercayainya.
Dalam kontek inilah etika, moral dan akhlak perlu dikalkulasi kembali, apakah bukan sekedar menempel seperti asesoris penghias diri belaka ?
Begitulah kejujuran dan keikhlasan tidak mungkin dapat dimanipulasi atau sekedar dibuat imitasi. Sebab gaungnya disuarakan oleh hati kepada hati yang lain. Maka itu, laku spiritual menjadi penting untuk mengasuh dan menjaga serta meningkatkan kualitas etika, moral dan akhlak manusia agar tak terjerembab dalam kutukan dan makian banyak orang seperti awalnya dari penghukuman — dalam bentuk moral — yang pasti akan berlanjut pada hukum alam yang disebut para ahli agama sebagai sunnatullah.
Hanya dari kesadaran dan pemahaman serupa ini, pengertian terhadap karma dan azab dapat diyakini sebagai sesuatu yang pasti akan datang dari langit. Sebab hukum positif — yang dibuat oleh manusia dengan segenap rincian etika, moral dan akhlak untuk memuliakan manusia telah diabaikan. Bahkan — hukum dan perundangan-undangan itu semua sudah diperdagangkan di pasar bebas (pengadilan dan oleh para petugas di lapangan) untuk bisa mendapatkan banyak keuntungan di luar maupun di dalam jam kerja pengabdian mereka yang patut berpihak kepada rakyat.
Artinya, permohonan maaf dan pencitraan itu pun ada yang palsu. Tidak otentik atas dasar kejujuran dan keikhlasan yang sejati.
Penulis Jacob Ereste
wartawan sinior dan pengamat sosial politik
Tangerang, 16 Oktober 2024