Oleh : Setyo Hajar Dewantoro
T3lusur.com Jakarta Saya sangat mengerti banyak yang sangat kaget terhadap manuver Presiden Joko Widodo terkait Pilpres 2024. Mereka yang semula melabuhkan harapan, lalu memberi dukungan dan cinta yang penuh, menjadi patah hati setelah Joko Widodo dinilai cawe-cawe memuluskan langkah anaknya Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi Calon Wakil Presiden mendampingi Calon Presiden Prabowo Subianto, dengan menabrak konstitusi. Sebagian orang kemudian menarasikan Jokowi telah berubah, telah menjadi penghianat, dan segala manuvernya membahayakan demokrasi. Sekarang, koran-koran cetak maupun online, juga media sosial kita, menjadi penuh drama: orang-orang semula penuh puja-puji pada Jokowi kini menebar caci maki padanya.
Tokoh sekelas Goenawan Muhammad dan koleganya yang hadir dalam agenda di kediaman Gus Mus kemarin, 12/11/2023, menjadi bagian dari mereka yang benar-benar patah hati: marah, sedih, dan kecewa.
Sekali lagi, saya sangat mengerti suasana kebatinan dari banyak orang yang peduli pada nasib bangsa ini di masa depan. Sejauh mendasarkan penilaian pada fakta empiris, siapapun layak sedih, marah, dan kecewa. Mereka yang ingin melihat Indonesia bebas dari kolusi dan nepotisme, tentu tak bisa terima karena Presiden Joko Widodo terindikasi melakukan dua hal itu dengan melibatkan adik iparnya Anwar Usman, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, demi memuluskan agenda politik dinasti.
Tak sebatas itu, banyak yang bisa membaca, Presiden Jokowi memainkan banyak kartu dan mengerahkan seluruh kekuatan termasuk kekuatan birokrasi, kekuatan TNI hingga Polri untuk memastikan kemenangan politiknya. Di sisi lain, sebagian orang bersimpati pada Megawati dan PDIP yang dinilai telah ditinggalkan dan dikhianati oleh tokoh yang selama ini menjadi petugas partai dan dianggap dibesarkan oleh partai itu. Fakta bawa Jokowi pasti mendukung anaknya Gibran, tentu berarti juga mendukung Prabowo, sembari tidak mendukung Ganjar Pranowo-Machfud MD yang menjadi kandidat dari PDIP, dinilai sebagian orang sebagai kejahatan piolitik: “politik Malin Kundang.”
Apakah saya turut patah hati? Saya praktisi meditasi dan guru spiiritual, yang sudah tidak lagi memberi ruang pada drama emosional. Saya sudah terbiasa untuk menerima apapun peristiwa yang terjadi dengan netralitas emosi yang secukupnya. Jadi saat ini tidak ada rasa sedih, marah, kecewa pada Jokowi. Bukan berarti tak pernah ada rasa marah dan kecewa, itu pernah ada dalam batas yang terukur, dan terjadi sejak penghujung 2019 saat Jokowi memulai periode kedua kepresidenannya.
Saya tak suka saat Jokowi memilih Mendikbud yang bukan pakar pendidikan dan bukan pula budayawan, melainkan pebisnis yang di kepalanya adalah profit, profit dan profit. Saya juga tak suka ketika Jokowi memaksanakan proyek IKN di Penajam yang sangat beresiko. Dan, sebagai orang yang mengerti bahwa Jokowi pada dasarnya adalah orang baik yang layak menjadi gantungan harapan untuk mengubah Indonesia–sehingga saya mendukungnya dengan sangat militan di 2014 dan 2019, saya betul-betul tidak bersepakat dengan Jokowi menyangkut cara penanganan Covid 19.
Bagi saya betul-betul ia telah takluk tak berdaya oleh manuver neoimperialisme, neokolonialisme dan neoliberalisme. Saya sungguh tak rela 1.895,5 Trilyun anggaran negara terbuang untuk sebuah drama perang kesehatan yang hanya menguntungkan pihak farmasi global dan para oportunis lokal. Saya tak rela karena banyak orang mati di rumah sakit akibat penanganan yang keliru (terutama melalui kebijakan isolasi dan pemberian obat-obatan yang masuk kategori keras), akibat penghakiman oleh alat test Covid 19 yang sangat tidak kredibel. Jadi saat itu saya rajin mengkritik kebijakan penanganan Covid 19, saya juga tak mau mengikuti protokol kesehatan ala WHO. Maka saat itu saya sempat dicap oleh sebagian pendukung Jokowi–yang sekarang patah hati itu–sebagai kadrun (kadal gurun).
Mengapa kini saya tidak patah hati? Karena saya membaca realitas tidak hanya pada aspek materialnya, saya tidak hanya menggunakan pendekatan positivistik atau rasional-empirik. Sebagai praktisi meditasi dan guru spiritual, saya menggunakan seluruh perangkat kecerdasan di dalam diri: otak, mata ketiga dan rasa sejati. Metoda yang dipakai adalah gabungan dari metoda rasional-empirik dan metoda spiritual-intelektual sehingga fakta yang terungkap dan dijadikan dasar penilaian bukan semata-mata yang bisa ditangkap oleh panca indera.
Maka, inti penilaian saya jadi berbeda dengan mereka yang patah hati: Menguatnya Kepemimpinan Presiden Jokowi saat ini sangatlah konstruktif. Bisa diungkapkan pula dengan tegas: Demokrasi saat ini tidak tengah dihancurkan, tetapi tengah dikonsolidasi, dari Demokrasi Pasar/Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin.
Jokowi saat ini memang telah berubah. Ia tidak lagi seperti yang dulu. Tapi ia juga tak seperti yang Anda pikirkan dan prasangkakan. Ia sungguh tidak lagi menjadi Presiden yang planga plongo ataupun culun; ia telah bertransformasi menajadi jenius politik. Ia mengerti bagaimana caranya untuk menang dalam pertarungan politik. Jangan lupa, Jokowi kini ada dalam situasi baru: sosok yang selama ini menjadi bayang-bayangnya, yaitu Luhut Binsar Panjaitan, yang sering dikatakan orang sebagai “Prime Minister of Indonesia”, tengah cuti panjang sampai entah kapan.
Saya melihat perubahan pada Jokowi sebagaimana saya melihat perubahan pada Vladimir Putin, Mohammad bin Salman, Kim Jong Un, juga Xi Jinping. Di dalam keheningan saya melihat semua bergerak menuju harmoni, menuju pembebasan secara kolektif. Maka saya tidak pesimistik melihat dinamika nasional dan global. Di tingkat global, berkecamuknya perang di Israel dan Palestina, menandai puncak eskalasi pertarungan antara kekuatan lama melawan kekuatan baru, sambungan dari perang antara Russia dan Ukraina. Tapi semuanya akan terukur tidak akan menjadi terlalu massif sehingga bisa terjadi Perang Dunia III.
Saya sama sekali tidak ingin ada Perang Dunia III dan melihat dinamika global tidak mengarah ke sana; sebaliknya, justru mengarah pada kesetimbangan baru yang lebih harmoni.
Jika Anda ingin mengerti apa yang terjadi pada Jokowi, pahamilah yang terjadi pada Vladimir Putin. Lihatlah realitas psikologis Putin di 2013 dengan Putin di 2023. Buat riset sederhana, perhatikan foto-foto Putin di 2010, 2011, 2012 atau 2013. Lalu bandingkan dengan foto Putin di 2020, 2021, 2022, dan 2023. Perhatikan ekspresi dan raut muka, rasakan aura yang terpancar dari wajah Putin. Jika mau lebih mendalam, resapi pernyataan-pernyataan politiknya, juga manuvernya: bagaimana Putin bisa menjaga ekonomi Russia tetap tangguh meski coba diembargo oleh AS dan sekutunya, juga bagaimana Putin mendorong perubahan di Afrika, bagaimana ia tampil dalam suasana yang sangat bersahabat ketika berjumpa Ibrahim Traore, Presiden Burkina Faso yang baru dan masih sangat muda.
Perhatikan juga bagaimana Putin tegas dan jelas menyalahkan Israel dan AS atas apa yang terjadi di Gaza saat ini. Selanjutnya Anda juga bisa meneliti perubahan yang terjadi pada Mohammad bin Salman, Putra Mahkota Kerajaan Saudi yang menjadi pemimpin de facto di negerinya.
Dulu banyak orang mengecam manuver kejamnya, termasuk saat ia dituduh terlibat pembunuhan jurnalis Jamal Khassoggi di Istanbul 2 Oktober 2018. Tapi kini MBS adalah salah satu pemimpin yang paling progressif di Timur Tengah. Ia menghentikan perang yang timpang terhadap Yaman. Ia mencabut larangan tidak berjibab di muka publik bagi perempuan Saudi. Ia memberi sinyal keterbukaan Saudi yang semakin meluas dengan keterbukaan di dunia sepakbola: Cristiano Ronaldo dan banyak bintang dunia lainnya berbondong-bondong pindah ke Liga Sepakbola Saudi Arabia.
Dalam konflik Gaza, ia jelas tegas mengecam serangan tentara Israel terhadap warga terhadap warga sipil di Gaza, baginya itu adalah serangan keji dan brutal. Saudi Arabia tak lagi jadi anak manis di hadapan Amerika Serikat yang hingga kini setia mendukung Israel. Perkara-perkara seperti ini sungguh tak terbayangkan bisa terjadi di masa lalu. Jadi saya menilai perubahan pada MBS adalah sesuatu yang konstruktif.
Di China, Xi Jinping jelas tengah melakukan konsolidasi politik yang sangat serius. Lawan-lawan politiknya satu persatu dilumpuhkan, yang terbaru dan cukup santer beritanya adalah Li Keqiang, mantan PM China.
Di bawah kepemimpinan Xi Jinping kini China menjadi Ketua Dewan Keamanan PBB dan punya sikap jelas dalam konflik Israel-Palestina. Xi Jinping bisa menjadi faktor kunci bagi penyelesaian issue Gaza secara berkeadilan, dan menjadi solusi untuk perdamaian di Timur Tengah di masa depan. Dan jangan lupakan, China di bawah Xi Jinping adalah negara yang berani dan punya kekuatan melawan hegemoni AS baik di sektor ekonomi, teknologi maupun militer.
Para pembaca yang saya hormati, demokrasi liberal yang dipuja-puji banyak orang, sebenarnya adalah sumber bencana politik bagi banyak bangsa. Untuk konteks Indonesia, Gerakan Reformasi 1998 telah ditunggangi dan dibelokkan arahnya oleh kekuatan global yang berada di balik berbagai lembaga internasional termasuk World Bank dan IMF. Sejak 1999 ketika jabatan Presiden RI bergeser dari BJ Habibie kepada Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, proses amandemen terhadap UUD 1945 mulai dijalankan. Ini adalah operasi politik dan intelijen tingkat tinggi, melibatkan banyak NGO lokal dan internasional, dan tentu saja menempatkan partai politik sebagai garda depan proses yang disebut sebagai Reformasi Konstitusi.
Tahun 2001 Gus Dur dimakzulkan oleh MPR, lalu Megawati menjadi Presiden RI, dan di 2002, Amandemen Ke-4 terhadap UUD 1945 tuntas dilaksanakan. Maka, inilah sebenarnya fenomena penghianatan terhadap konstitusi yang paling nyata. UUD 1945 yang berlandaskan Pancasila, dan disusun oleh para pendiri Republik Indonesia dengan semangat kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan, benar-benar berubah menjadi UUD baru yang disemangati liberalisme yang justru menjadi pintu gerbang ketundukan Indonesia dan segenap rakyatnya terhadap neo kolonialisme dan neo imperialisme. Inilah momen sistem politik dan kenegaraan Indonesia bergerak menuju kehancurannya; para politisi yang terlibat dalam kontestasi kekuasaan kemudian tak lagi sanggup jadi negarawan karena punya hutang politik terhadap para pendana: demokrasi liberal telah menyebabkan biaya politik mulai dari tingkat desa, daerah hingga nasional menjadi sangat mahal. Inilah pangkal masalah yang sesungguhnya: para politisi dan pejabat negara tak lagi bisa menjadi pelayan rakyat, karena tersandera kepentingan pemodal yang membantu kemenangan politik mereka.
Berkenaan dengan peraturan perundang-undangan, UUD hasil 4 kali amandemen, jelas menjadi induk dari lahirnya banyak sekali Undang-undang, Perpres, Kepmen, yang bernuansa liberalistik, bertolak belakang dengan semangat ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan sosialisme dalam Pancasila.
Puncaknya adalah lahirnya UU Omnibus Law Kesehatan dan Cipta Kerja; dua UU ini menempatkan rakyat Indonesia sebagai obyek kepentingan para pemodal tanpa bisa dilindungi oleh negara. Inilah masalah besar kita. Jadi buat saya aneh ketika banyak pakar ribut soal peraturan batas usia Capres-cawapres tetapi diam saat UU yang berpotensi menggadaikan kedaulatan rakyat disahkan dan tak pernah berhasil dijudicial review.
Saudara-saudara, perusakan dan kerusakan konstitusi yang sangat parah telah terjadi sejak 2002, bukan baru terjadi di penghujung 2023. Kemana saja kita selama ini?
Maka, kepedulian saya adalah pada nasib bangsa ini. Saya tak peduli soal siapa yang menjadi Presiden dan Wapres 2023–bagi saya tak ada bedanya siapapun Presiden dan Wapresnya jika demokrasi liberal masih diterapkan di negeri ini. Tapi saya tak bisa melihat ada solusi jika masih berkutat pada pendekatan rasional-empirik. Saya temukan solusi itu pada pendekatan profetik; saya melihat ke depan, saya melihat kekuatan Tuhan Yang Maha Esa tengah bekerja menyelamatakan bangsa ini dengan cara yang tak terpikirkan dan tak terbayangkan.
Bagi saya, selain perbaikan konstitusi dengan dikembalikannya UUD 1945 versi 18 Agustus 1945 sebagai konstitusi tertinggi di Republik Indonesia, maka perlu ada keajaiban di ranah kekuasaan. Jelas dibutuhkan keberadaan pemimpin yang kuat, yang tak terkooptasi oleh partai politik, oleh king maker, dan oleh para oligarkis alias para bohir.
Kita membutuhkan Priesiden RI yang independen, yang punya kejeniusan dan kekuatan politik untuk memimpin Indonesia ke arah baru–tepatnya memgembalikan Indonesia kepada jalur pencapaian visi kemerdekaan sebagaimana dirumuskan para Founding Fathers Republik Indonesia.
Maka, saya menyabdakan terjadinya keajaiban itu, biarlah Presiden Joko Widodo menjadi wahana semesta untuk mengubah Indonesia dengan pendekatan Demokrasi Terpimpin: demokrasi sesungguhnya di mana kerakyatan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Ini adalah langkah fundamental di masa transisi sebelum kita memiliki sistem kenegaraan berbasis permusyawaratan/perwakilan yang mengedepankan asas kekeluargaan.
Pemimpin yang kuat seperti Vladimir Putin, sangat dibutuhkan di negeri ini, yang rakyatnya kadung terfragmentasi, kadung mengalami perbenturan egoistik hingga sangat tidak solid, akibat sekian lama dipermainkan melalui drama demokrasi palsu.
Maka, saya menilai sangatlah konstruktif jika saat ini Jokowi sebagai Presiden menjadi sangat kuat, menjadi jenius dalam langkah politiknya, dan tanpa ragu memimpin negeri ini mencapai apa yang menjadi visinya. Sebagai rakyat kita bisa melakukan banyak hal yang berorientasi pada prinsip Trisakti: berbudaya sesuai jatidiri, berdikari secara ekonomi dan berdaulat secara politik.
Saya dan komunitas saya sangat sungguh-sungguh bekerja di tiga ranah ini dengan segala kemampuan, tidak akan sedikitpun hanyut dalam keriuhan kontestasi politik. Saya mengajak Anda semua melakukan hal yang sama demi Indonesia Raya yang Jaya.(*)
Penulis adalah Guru Spiritual, Pendiri Persaudaraan Matahari dan Ketua Umum Pusaka Indonesia.