Oleh : Yudhie Haryono
Presidium Forum Negarawan
“Pitinglah pendemo. Gunakan semua alat perang.” Demikian panglima serukan. Satu perintah pengamanan terhadap pembangunan di pulau Rempang. Gigil kita mendengarnya. Sebab, jika para serdadu sudah memilih bersama oligarki, “kita semua sebenarnya tinggal di imperium selokan.” Ini khas negeri poskolonial yang mewarisi mental kolonial: aparatnya jadi keparat yang membela konglomerat.
Terlebih, jika para ilmuwan sudah memilih sebagai antek penguasa yang mengabaikan rakyat, bahkan merasionalisasi kejahatan negara dengan memproduksi dukungan dan kebohongan demi rupo lan sego, kita sebenarnya sudah di neraka jahanam.
Aku sudah melawan, melakukan kritik, tulis, demo, petisi dan berdoa sebisanya. Tak berhasil. Malah makin tak ada terang. Kini yang kubisa apa? Menyampaikan puisi. Itulah nasibku tuan-tuan yth. Itu semua karena pemerintahan kita kini diisi tukang kibul dan pelacur serta didukung kaum munafikun.
Dari negara di mana uang disembah dan pikiran dinistakan. Dari bangsa yang berkata pancasila, tapi berperilaku sebaliknya. Dari daerah di mana partai terkorup memenangkan pemilu. Aku menulis puisi cinta dan keruwetan-keruwetan hidup:
Siapakah yang kau bayangkan menemanimu saat ajal/yang setia menjagamu saat sakit/yang membuahimu dengan cinta/apakah ia yang jauh/yang nalarmu berharap-harap penuh seluruh/ataukah aku/lelaki tua yang setia/walau bau tanah tapi bersedia mencuci bajumu/mengantarmu ke pasar dan kampus/memenuhimu dengan cinta tak bertepi/melobi tuhan agar hujankan berkah/dan mengajakmu menjadi ibu negara/atau menulis buku/sebab alamatku ada di perpus-perpus penjuru negeri/
Jika ada tuhan yang disebut namanya membuatku gila ketuhanan dan rindu kematian, itulah tuhanku yang membisu dari doa-doaku setiap waktu. Engkaukah tuhanku yang menuli dari ratapku? Engkaukah tuhanku yang membuta dari segenap cintaku?
Tuhanku kini persis indonesiaku: bisu tuli buta dengan nasibku.
Dan, aku terbunuh cemburu bila ada orang yang sering kau sebut mencintaimu dengan cara dan postur yang diimpikanmu; juga yang engkau cintai tapi tak sempat menggendongmu karena beberapa alasan yang tak perlu.
Yup. Kalian membaca puisi di tebing-tebing kerinduan dan sawah-sawah yang tak lagi diairi bulir air saat kemarau menahun dengan judul serupa tapi tak sama. Tragis. Karena aku jadi tumbalNya. Berteriak serak.
Padahal, para tetua bicara, “presiden bermental garuda adalah ia yang mencintai kalian dan kalian mencintainya; kalian berdoa untuknya dan ia berdoa untuk kalian. Integralistik, laksana satu tubuh, holupis kuntul baris, satu untuk semua dan semua untuk satu. Jika sebaliknya, itu presiden narsistik dan sakit jiwa. Segera kembalikan ke selokan jika kita tak ingin paria dan jadi budaknya.”
Padahal, kitab-kitab kuno nusantara bernubuwat, “presiden bermental pancasila itu harus sanggup menyelaraskan dirinya; menyelaraskan dirinya dengan rakyatnya; menyelaraskan dirinya dengan semesta. Dan kata kunci penting merealisasikannya, ialah sikap “suwung ing pamrih, tebih ajrih, dan rame ing gawe.”
Karenanya. Jika yang ada adalah kebalikannya, ia adalah setan berwajah manusia (gerandong). Inilah kalasuba. Sumbu terakhir sang angkara murka. Mula dan sebab tumbuhnya wahyu keprabon jika kita setia.
Kawan. Mari bergotong royong untuk memastikan kedatangan wahyu keprabon ini dengan gagasan, tenaga maupun dana sebanyak-banyaknya. Kita songsong arus balik agar tak kuwalat bagai Maling Kundang. Segera.(*)
Penulis Oleh Presidium Forum Negarawan