Oleh Yusuf Mujiono
T3lusur.com Jakarta Selasa 5 September 2023 tepat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengakhiri masa tugasnya sebagai orang nomor satu di Jawa Tengah. Selama dua periode Ganjar memimpin Jawa Tengah banyak kemajuan yang dicapai, sekalipun ini masih diperdebatkan sebagian orang, apalagi ini tahun politik dan Ganjar sendiri oleh PDI Perjuangan di calonkan menjadi presiden. Tentu serangan dan cacian makin bertambah, namun itulah risiko di negara yang menganut sistem demokrasi.
Bangsa Indonesia sudah menentukan sistem demokrasi menjadi pilihan terutama pasca reformasi, terlepas kelebihan dan kekurangannya harus diterima. Seperti orang bisa bicara seenaknya dengan dalih memberikan kitik, sekalipun mereka bisa membedakan mana kritikan dan mana cacian. Karena nyatanya banyak dari mereka yang bicara hanya berdasarkan suka dan tidak suka atau posisi diuntungkan atau tidak. Lalu, mereka mencaci dan memaki, padahal demokrasi itu ada aturan, kebebasan seseorangpun dibatasi dengan kebebasan orang lain.
Lagi, kebebasan itu ada batasan sepanjang menyangkut kepentingan nasional seperti pendapat Feinberg dalam bukunya freedom and Fulfllmen kebebasan berbicara tidak sepenuhnya bebas tetapi dibatasi hanya kepentingan nasional. Artinya ketika masih banyak yang menggunakan kebebasan tetapi belum tahu batasan-batasannya, dengan demikian bisa dikatakan demokrasi yang sehat yang kita inginkan belum terwujud.
Ada pengalaman menarik saat bincang dengan seorang professor mengatakan ada orang yang tiap saat mengkritik presiden Joko Widodo, bukan hanya kritikan tetapi cenderung memaki, namun apa yang terjadi saat orang tersebut diberikan kesempatan mengikuti pidato kenegaraan di komplek MPR/DPR RI tahun 2023. Mereka yang mengkritik dan memaki itu berebut untuk mencari posisi hanya sekedar bisa bersalaman dengan Pak Jokowi.
Lalu sang professor itu mengatakan tak heran kalau berdasarkan tingkat kepuasan public atas kinerja Presiden Jokowi mencapai 80%, mungkin dikarenakan kondisi seperti ini, yang bisa diasumsikan orang mengkritik karena pengen posisi dan jabatan atau hanya biar di dengar Pak Jokowi saja, bukan muncul dari keprihatinannya sendiri.
Kembali kepada Ganjar Pranowo capres PDI Perjuangan adalah sosok yang dekat dengan rakyat di mana dalam acara perpisahan yang ditayangkan dalam plaform media sosial, suasa begitu mengharu biru, terutama saat orang-orang terdekatnya memberikan testimoninya, seketika cucuran airmatapun tak kuasa dibendungnya.
Setidaknya suasa ini menggambarkan bagaimana sosok Ganjar adalah sosok pelayan yang humble dan lawprofile, dekat dan hidup di tengah-tengah rakyatnya. Maka kalau ada pandangan bahwa Ganjar adalah pelanjut Jokowi itu tak begitu salah.
Namun melalui pesan ini ada satu hal yang bisa disampaikan bahwa “Ganjar adalah Kita” apa yang dimaksud kita. Kita adalah wong cilik yang dari sisi trah, jabatan dan akses serba terbatas. Secara trah tidak ada kaitannya dengan orang tua yang sudah menjabat. Ganjar lahir dari anak polisi yang katakan hanya memiliki jabatan rendah, bukan kalangan jendral atau kalangan priyanyi yang terpandang. Beda kelas dengan Prabowo anak seorang Begawan ekonomi yang tentu sejak kecil sudah mendapat fasilitas kemewahan, bukan juga seperti capres satunya yang secara keturunan sudah mendapat nama sebagai anak tokoh.
Bandingkan dengan para pejabat baik legislative, eksekutif maupun Yudikatif Jika diteliti mereka yang duduk baik di Senayan dan lembaga lainnya rata-rata ada kaitan dengan para pejabat masa lalu, entah anak anggota dewan, bupati, gubernur, menteri bahkan presiden. Baik sebagai keturunan langsung sebagai anak, cucu ataupun kerabat dekatnya. Komposisi ini bisa mencapai 70-80%, sedangkan pendatang baru yang tidak ada kaitannya dengan pejabat masa lalu adalah sangat kecil.
Nah, siapa pendatang baru itu, salah satunya presiden Joko Widodo yang secara trah dan akses juga terbatas seperti kebanyakan masyarakat Indonesia yang hampir 60-70% tersebut, tetapi mampu menerobos mulai dari walikota, gubernur dan akhirnya Presiden..
Sama seperti Ganjar Pranowo juga mempresentasikan kita, artinya dengan sosok Jokowi dan Ganjar berarti siapapun orangnya dari latar belakang apapun, memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih menjadi pemimpin nasional mendatang.
Memang bukan itu saja yang menjadi dasar agar orang seperti Ganjar ini terpilih tetapi juga rekam jejak perlu menjadi bahan pertimbangan utama. Bagaimana Ahok mantan gubernur DKI pernah sampaikan ujian seseorang itu kala diberikan jabatan. Dalam hal ini Ganjar bisa teruji sekalipun dua kali menjabat Gubernur di Jawa Tengah, sikapnya tak berubah, tidak maruk uang alias korupsi tetapi justru dengan bawahannya mengingatkan keras akan bahaya korupsi. Pemerintahan yang bersih yang dilakukan.
Mempermudah pelayanan masyarakat, tanggap akan persoalan yang dihadapi dan yang paling penting dia berdiri diatas semua golongan dan kelompok tegak lurus terhadap Undang-undang Dasar 45, Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Berani mengambil kebijakan sekalipun di caci serta tidak lari dari kritik tetapi dihadapi dengan tenang, seperti kala menemui demo buruh, demo kasus Wadas dan Gunung Kendeng.
Kala memerintah semua rakyatnya terlindungi terlepas keberbedaan yang ada. Dan yang utama Ganjar Pranowo itu kacang tidak lupa kulitnya artinya selalu ingat siapa sejati dirinya.
Penulis adalah Ketua umum Pewarna dan Pemimpin Umum Majalah Gaharu