Oleh : Yudhie Haryono
T3lusur.com Jakarta Adil dan sentosa. Pasti itu cita-cita tatanan warganegara Indonesia merdeka. Adil artinya sama, menyamakan, setara, setimbang; menjaga hak-hak orang lain; memberikan hak kepada yang berhak menerimanya; sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak; sepatutnya; tidak sewenang-wenang; berpihak kepada yang benar; berpegang teguh pada kebenaran.
Jika keadilan diletakkan dalam perspektif Pancasila sebagai filosofi bangsa maka itu merupakan perlakuan yang adil setimbang bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang yaitu ipoleksosbudhankam.
Sedangkan sentosa artinya bebas dari segala kesukaran dan bencana; aman dan tenteram; terbebas dari dominasi, penjajahan, ancaman, tantangan, hambatan, gangguan; sejahtera lahir batin; panjang umur kebahagiaan.
Jika sentosa diletakkan dalam prespektif Pancasila sebagai dasar negara maka kita semua wajib membawa dan menghadirkan keadilan, kemakmuran, kedamaian, keamanan, keterlindungan dan kesentosaan yang dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Mulia dan keren bukan cita-citanya? Tentu. Terlebih, adil dan sentosa ini dalam konteks negara merdeka selalu dihadapkan dengan kata penderitaan. Sebuah keadaan yang dinajiskan karena itu prodak penjajahan.
Penderitaan artinya menanggung atau merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Penderitaan dapat didefinisikan sebagai keadaan menyedihkan yang harus ditanggung oleh seseorang baik sengaja maupun tidak. Dus, merdeka itu artinya bahagia, bebas derita.
Kondisi adil dan sentosa di sebuah negara ternyata hanya bisa hadir jika ditopang oleh warganegara dan pemimpin yang punya lima karakter: syaja’ah (berani), sidiq (jujur), amanah (trust), almithsalii (idealis), dan fatanah (cerdas). Artinya, tanpa mental dan perilaku berani, jujur, trust, idealis dan cerdas maka tak mungkin hadir keadilan dan kesentosaan. Artinya makin terpenuhi 5 kondisi itu maka makin tinggi indexnya.
Sayangnya kita kini panen sikap dan perilaku sebaliknya: khianat (pengkhianatan), dendam (pendendam), tamak (ketamakan), dengki (kedengkian) dan sombong (kesombongan). Praktis suasana hubungan antar warganegara kita begitu menyesakkan, terutama atmosfir politik terkini. Mereka mempertontonkan saling berkhianat, saling mendendam, saling bertamak-ria, saling berdengki dan saling sombong yang kelewat batas.
Kultur jegal-menjegal itu kini dianggap wajar. Tradisi tidak setia dan selingkuh itu kini trendi. Kelakuan bohong dan menipu itu kini seperti keharusan. Bersikap menusuk dari belakang dan mengadu domba itu ciri kesuksesan. Nyolong, nyopet, nggarong, ngrampok dan ngentit kini dijadikan rukun kekuasaan politik dan politisi Indonesia yang merdeka.
Padahal, dalam hukum semesta dikatakan bahwa barang siapa ingkar dan aniaya pada sesama, sesungguhnya ia ingkar dan aniaya terhadap dirinya sendiri. Ini hukum tabur tuai yang pasti persisi hasilnya. Ini perjalanan hukum alamraya yang tidak tak terbantahkan.
Di tengah index kesentosaan yang makin minus, kita kini menikmati negara 78 tahun merdeka yang mengalami kedaruratan di mana-mana. Minimal ada lima darurat nasional: 1)Darurat politik, karena kita menghapus konstitusi asli; 2)Darurat ekonomi, karena dicengkeram oligarki yang tamak; 3)Darurat pangan, karena dihabisi elnino dan impor pangan; 4)Darurat pendidikan, karena kita dihempas liberalisasi dan komersialisasi; 5)Darurat budaya, karena kini penetrasi budaya asing begitu hegemonik di semua lini.
Mengatasinya, kita butuh pemimpin crank dan menyempal; jenius lahir batin yang wakaf nyawa untuk jihad lima hal: 1)Menjadikan kembali pancasila sebagai sumber bernegara; 2)Mengembalikan konstitusi asli; 3)Memilih presiden yang berani, out of the box dan outward-looking; 4)Menghidupkan kembali GBHN agar semua pembangunan itu terintegrasi dan sambung menyambung; 5)Memutar balik haluan keindonesiaan menjadi ipoleksosbudhankam yang bertuhan, bermanusia, bersemesta secara resiprokal (theo-antro-eco-centris).
Jika kita bergotong-royong atasi hal-hal di atas, index kesentosaan kita pasti top. Lalu, kita akan menuju mercusuar dunia: jadi peradaban martabatif. Semoga.(*)
Penulis Presidium Forum Negarawan