T3lusur Jakarta Kasus yang terkait dengan pasal penistaan agama semakin meningkat, akibat pasal yang ditengarai mengandung multitafsir ini banyak memakan korban yang dianggap menista agama. Kasus yang terbaru adalah pimpinan Pompes Al Zaytun namun sebelumnya sudah banyak yang menjadi korban. Tentang kasus yang banyak menelan korban kaum yang ditengarai dari kelompok yang berseberangan dengan kelompok konservatif ini masih menjadi catatan tersendiri semasa pemerintahan Joko Widodo.
Halili dari Setara Institute tidak kaget kalau akhirnya Pimpinan Pompes Al Zaytun itu menjadi tersangka dengan pasal penistaan agama.seperti yang dilnasir di tempo.co.id
Menurut Setara Institute mencatat sepanjang pemerintahan Jokowi terjadi lonjakan hebat kasus-kasus penodaan agama. Data SETARA menunjukkan, hingga akhir 2022 telah terjadi 187 kasus penodaan agama dengan rincian: 1) empat kasus pada rentang 1955-1966, 2) empat kasus antara 1967-1998, 3) 0 kasus sepanjang 1999-2001, 4) tiga kasus pada rentang 2002-2003, 5) 54 kasus sepanjang 2004-2013, dan 6) 122 kasus pada rentang 2014-2022
Terkait pasal khususnya pasal 156 a ini ada sekelompok masyarakat yang tergabung dalam simpul pemuda lintas agama dan keyakinan akan melaksanakan serangkaian aksi memberikan nasihat di ruang public kepada pejabat pemerintah yang dilakukan adalah bentuk protes atas penerapan pasal 156 a KHUP yang diduga bentuk pembungkaman kebebasan beragama dan berpendapat.
Berdasarkan undangan di redaksi dalam aksi ini juga menuntut agar presiden Ir. Joko Widodo menggunakan hak Memoratun (Penangguhan) atas kasus penodaan agama yang sedang dihadapi oleh Syayk Panji Gumilang atas dasar telah disahkan KUHP yang baru dan akan diterapkan secara efektif pada 3 tahun setelah disahkan.
Aksi ini akan dilaksanakan Rabu 23 Agustus 2023 akan dimulai pukul 09,00 WIB titik kumpul di Kemenang RI dan Longmach menuju Istana yang direncanakan diikuti sebanyak 1000 orang.
Tentang pasal penodaan agama, Romo Benny Susetyo Staf Ahli BPIP mengatakan bahwa pasal ini multitafsir dan bisa dikatakan pasal karet, oleh karena itu DPR RI perlu kembali meninjau pasal tersebut.