T3lusur.com Jakarta Keraton Talk. Keluarga Raya Keraton Indonesia, menginisiasi diskusi via webinar bertajuk “Usulan RUU Kemuliaan Keraton & Raja Sultan Indonesia; Seni Bertimbang pada Kajian Yuridis, Politik Hukum, dan Methodology Nusantara” yang digagas Shri Lalu Gde Pharma Patadhya Al Arifbillah, dari AKKI (Assosiasi Keraton dan Kerajaan Indonesia) pada Rabu, 5 Juli 2023, pukul 20.00-22.00.
Sejumlah Nara sumber diantaranya
Dr. I Gede Wardana, Ilmuwan Budaya Politik Nusantara, Jacob Ereste, Wartawan Senior, Datuk Pangeran Abdul Latif, SE, M.Si., Karaeng Nojeng Rumbia Sulsel, Pusat Kajian Strategi Nasional, Abdurrahim Jabar, Penyuka Buku.
Sebagai fasilitator adalah Tengku Armizan, Sultan Riau Lingga, Direktur Eksekutif FISNA / Federasi istana se Indonesia. Dalam acara zoom meeting ini diharap menjadi penanggap utama, adalah para Raja, Sultan dan Ratu se Indonesia, serta Pimpinan Organisasi Keraton se Indonesia.
Yassin Welson Lajaha, sangat acara ini dapat memantik upaya percepatan usulan UU Tentang Fungsi dan Peran Masyarakat Keraton dan Masyarakat Adat Dalam Pembangunan Warga Bangsa dan Negara Indonesia untuk masa depan yang lebih baik, lebih beradab dan sejahtera serta berkeadilan.
Hadir juga Tengku Armizan, Sultan Riau Lingga yang memberi dukungan pada upaya percepatan rancangan UU Tentang Fungsi dan Peran Masyarakat Keraton dan Masyarakat Adat, karena potensinya untuk pendukung dan penjaga etika hingga budaya suku bangsa Nusantara yang bersepakat membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, saat proklamasi kemerdekaan pada, 17 Agustus 1945, sebagaimana yang diurai Dr. I.Gede Wardana dari Bali dan Ibdurahim Jabbar yang mengurai budaya basandi syara, dan syara besandi kitabbulah seperti yang menjadi model ketahanan budaya (politik, ekonomi dan tatanan sosial) bagi masyarakat Minangkabau sampai sekarang. Namun mulai terancam punah tergerus oleh arus jaman kapitalistik dan instan maupun hedonisme yang semakin menjauh dari agama.
Fenomena dari geliat gerakan kebangkitan dan kesadaran spiritual menjadi semacam arus pengimbang dalam ketimpangan budaya global, jelas menandai merosotnya etik profetik — ajaran dan tuntunan para Nabi yang diturunkan dari langit — sangat perlu dan penting untuk diapresiasi, sehingga dampak terusan dari budaya instan itu tidak semakin membuat kerusakan dalam arti moral dan intelektual karena menguapnya aroma dan nuansa spiritual.
Tindak kecurangan, pembohongan, pengkhianatan dan penipuan yang bermuara pada perilaku korupsi yang mewabah di Indonesia, realitasnya dilakukan oleh mereka yang pintar, tapi tidak bermoral. Dan kaum intelektual yang semakin kehilangan kecerdasan spiritual, sungguh banyak yang terjebak pada nilai material, akibat abai pada nuansa dan aura spiritual sebagai berkah dan potensi dari Allah, namun tidak dipelihara dan dikembangkan kekuatan dan ketangguhannya.
Kecerdasan dan ketangguhan serta kemampuan spiritual adalah perisai penjaga diri setiap manusia yang tak hendak tergelincir dan tersungkur ke dalam lembah hina sebagai makhluk Tuhan yang sesungguhnya paling mulia di muka bumi.
Sayanya, penulis tidak sempat ikut memapar pendapat urgensi dari fungsi dan peran besar yang dapat dilakukan oleh warga masyarakat Keraton dan masyarakat adat di Indonesia yang dapat diposisikan sebagai penjaga, etika moral dan akhlak yang berbasis pada segenap nilai lokal genius yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia.
Karena itu, upaya untuk segera membuat dan mensahkan UU Tentang Fungsi dan Peranan Masyarakat Keraton dan Masyarakat Adat di Indonesia dapat segera diwujudkan. Draft rancangan yang telah dibuat oleh YM. Abdurahim Jabbar perlu mendapat perioritas dukungan bagi segenap komponen bangsa yang sadar bahwa fungsi dan peran masyarakat Keraton dan Masyarakat Adat dalam membentuk — dalam mendirikan negeri ini — sungguh tidak bisa diabaikan. Karena inilah satu diantara banyak arti dan makna dari slogan untuk tidak melupakan sejarah.
Sebagai warga masyarakat yang menyadari betapa besar dan luhurnya budaya suku bangsa Nusantara — yang kemudian disatukan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, sejak 1928 dan klimaksnya pada 1945 — tidak lagi meninggalkan warga masyarakat Keraton dan masyarakat adat yang mampu memperkuat pondasi benteng pertahanan budaya bangsa, setidaknya seperti Trisaksi, yaitu berdaulat dalam politik, mandiri dalam ekonomi dan berkepribadian kuat dalam tata pergaulan bangsa-bangsa di dunia. Inilah sebabnya esensi kebangkitan gerakan kesadaran dan pemahaman spiritual bagi bangsa Indonesia — yang terdiri dari berbagai ragam suku bangsa Nusantara — harus dan patut membangun benteng pertahanan budaya yang telah diwariskan para leluhur kita yang sudah membuktikan ketangguhannya dalam peradaban dunia, setidaknya sejak masa Selakanegara, Sriwijaya dan pada masa Majapahit. Jacob Ereste
RS. Dharmais, 6 Juli 2023
Paparan ini dibuat sekaligus dimaksud menjadi penebus rasa kecewa banyak pihak, karena kesalahan teknis penggunaan media zoom metting yang tidak bisa dilakukan dengan baik. Maka itu kepada panitia penyelenggara, Assosiasi Keraton dan Kerajaan Indonesia (AKKI), penulis mohon maaf.**