Oleh : Marie Yosse Widi Hapsari
T3lusur.com Jakarta Apa yang paling menarik dari sila kedua dalam Pancasila? Posisi manusia sebagai subjek utama untuk adil dan untuk beradab. Ya, sila kedua yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab,” adalah sila yang menekankan pada kata manusia sebagai subjek utama. Dus, tanpa manusia, keadilan dan keadaban (dunia) tak ada.
Mengapa? Karena manusia memiliki benih keilahian dalam dirinya. Percikan Sang Maha Esa ada di dalam sanubari setiap manusia. Oleh karena itu berlaku adil dan beradab adalah suatu keniscayaan dikarenakan itulah sifat keilahian. Mental, sifat dan sikap yang sudah seharusnya ada dalam setiap diri manusia. Manusia harus menuhan dan Tuhan yang menubuh dalam dirinya.
Pada sila kedua ini bangsa kita memiliki pengertian bahwa semua manusia memiliki derajat yang sama serta memiliki hak dan kewajiban yang sama pula. Dengan kata lain, pada hakekatnya, semua manusia adalah mahluk sosial yang bertuhan, berbudaya dan beradab. Maka dari itu, penerapan dari sila kedua ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada manusia untuk bersikap adil dan beradab; di manapun dan kapanpun, oleh siapapun dan kepada siapapun.
Jika demikian halnya maka mengapa kondisi keadilan dan keberadapan masih belum merata di Indonesia? Dapat dikatakan bahwa problemnya terdapat pada diri manusia itu sendiri. Padahal, manusialah yang mampu untuk membalik keadaan yang kurang baik ini. Manusialah subjeknya. Bukan yang lain. Dan, dengan tradisi kuantum itu, problem ini bisa diatasi.
Menurut guru Kun Wardana Abyoto (KWA), dalam teori kuantum diperlukan perubahan medan energi agar perubahan bisa terjadi. “Jika kita punya keinginan yang kuat di dalam hati, maka seluruh alam semesta akan bahu-membahu mewujudkannya. Ubahlah medan kuantum kita dengan kemurnian hati agar hasilkan keajaiban. Itulah quantum leap, lompatan kuantum bukan berjalan biasa sebab kita tidak mungkin mengejar mereka yang sudah lebih dulu maju jika kita hanya berjalan biasa.”
Bagaimana mengubah medan energi itu? Diperlukan konsistensi pancaran vibrasi yang tinggi. Jika merujuk pada Level of Counsiousness yang dibuat oleh David R. Hawkins, diperlukan konsistensi vibarasi pada level tinggi. Oleh karena itu niat dan kesungguhan untuk sungguh-sungguh mengubah keadaan memang harus dimulai dari dalam diri (manusia) itu sendiri.
Kesadaran apakah yang diperlukan? Dimulai dari kesadaran bahwa segala sesuatunya adalah esa/tunggal (sila kesatu). Prinsip dasarnya adalah “singularity”, single, satu, esa. Di semesta ini semua berasal dan terdiri dari sumber materi-imateri yang sama. Sehingga apa yang ada dalam diri ini sama persis juga dengan yang terjadi di luar diri. Jadi untuk mengubah yang ada di luar, kita selaraskan dulu yang ada di dalam diri dengan yang esa agar selaras semuanya.
Dalam teori kuantum, hal ini disebut entanglement atau ‘keterkaitan/keterhubungan.’ Intinya ada pada setiap diri manusia itu sendiri (sila kedua: kemanusiaan) agar terhubung dengan yang esa (sila kesatu). Lalu, untuk membangun negara ini kita perlu energi, maka kita perlu bersatu (sila ketiga: persatuan), yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan (sila keempat), maka terwujudlah keadilan sosial (sila kelima).
Terkait hal ini, jika merujuk pada level of consiousness dari tesis David R. Hawkin, maka diperlukan 12 orang dengan loc 700 untuk mengubah 90 juta orang lainnnya. Artinya kalau ingin terjadi perubahan cepat bagi 275 juta rakyat Indonesia, kita butuh 36 patriotis sejati. Di sini, penulis jadi teringat dengan ucapan Presiden Soekarno, “beri aku 10 pemuda, maka akan kuguncang dunia.” Boleh jadi, Bung Karno juga sudah memahami teori kuantum, sehingga beliau cukup butuh 10 untuk melakukan perubahan besar. Tentu karena teori ini berkata, “apa yang terjadi dalam diri kita terjadi juga di dunia luar, apa yang terjadi di luar terjadi juga pada diri kita; sepanjang kita yakin dan bekerja untuk itu.”
Dengan semakin populernya teori kuantum, negara-negara Barat mulai berusaha memanfaatkan medan energi kuantum untuk kemajuan mereka. Teori ini telah menghasilkan kemajuan iptek dan penghasil hadiah nobel di dunia. Di atas itu semua, kita bisa pahami bahwa perumusan yang disebut “global deeds” ternyata isinya adalah Pancasila. Merujuk pada diskurus itu, kita harus sangat bersyukur karena Pancasila telah menjadi dasar negara yang sekaligus adalah jalan spiritual menuju Indonesia Raya yang kemudian menginspirasi banyak negara dan komunitas global.
Singkatnya, mental-karakter Pancasila sangat tepat sebagai modal diplomasi antar negara baik secara bilateral maupun multilateral. Jika mental itu terpatri kuat maka kita akan mudah mendiskusikan berbagai gagasan yang mengedepankan nilai-nilai moral dari berbagai latar belakang baik itu pendidikan, ekonomi, budaya, sosial, kesehatan, dan lain sebagainya. Maka, berpancasilah secara kafah: jiwa raga. Berpancasilah secara subtansi: nalar, ucapan, tulisan dan tindakan. Bukan parsial, munafik dan serakah.(*)
Penulis : Peserta Program KKK Nusantara Centre