JAKARTA–T3LUSUR Sumpah Pemuda yang akan diperingati besok, Jumat (28/10), menjadi bukti kejeniusan dan kebesaran hati para pemuda Indonesia untuk mengutamakan persatuan. Alih-alih terjebak taktik penjajah divide et impera, para pemuda dari berbagai suku, ras, dan agama justru berinisiatif mengikrarkan persatuan dalam Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 di Batavia.
“Inilah kejeniusan visi dan kebesaran hati para pemuda dan pemudi yang berkumpul di Kongres Pemuda 1928 tersebut. Sementara, para elite pimpinan yang lebih senior seringkali terjebak dalam politik identitas dan kepentingan sempit. Mereka memutuskan dalam rapat tersebut sebagai putra putri Indonesia yang bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan yang sama: Indonesia,” kata Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, dalam webinar internasional bertajuk “Sumpah Pemuda dan Literasi Keagamaan Lintas Budaya: Merekat Perbedaan, Menjalin Kemanusiaan”, Rabu (26/10/2022) malam.
Matius mengatakan Sumpah Pemuda menjadi tonggak sejarah penting bagi kemerdekaan Indonesia dimana para pemuda hadir mewakili organisasi suku/daerah mereka seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, Pemuda Kaum Betawi, dan lain-lain. Uniknya, meski tidak meninggalkan identitas suku dan agama mereka, tetapi para pemuda bersepakat menghargai perbedaan dan mendahulukan kepentingan bersama.
“Ada identitas bersama yang menjadi titik temu bagi mereka untuk bersatu dan bekerja sama,” kata Matius kepada lebih dari 1.300 orang yang hadir dalam webinar yang diadakan Masjid Istiqlal dan Institut Leimena serta didukung oleh Templeton Religion Trust.
Menurut Matius, kemajemukan Indonesia bisa menjadi aset sekaligus potensi polarisasi dan perpecahan yang serius. Inisiatif, kreativitas, dan komitmen para pemuda di masa lalu tetap relevan bahkan semakin penting tidak hanya bagi Indonesia tapi dunia masa kini.
“Politik identitas di Indonesia bukanlah hal baru, tapi ibarat penyakit yang semakin berkembang di musim-musim tertentu, salah satunya ketika ada agenda-agenda politik besar. Saat ini, kita tengah menyongsong pemilihan legislative dan presiden tahun 2024,” ujarnya.
Sementara ITU, Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Dr. Nasaruddin Umar, mengatakan Sumpah Pemuda tidak terlahir dari ruang kosong. Kesepakatan para pemuda Indonesia untuk bersatu adalah perwujudan dari budaya maritim Indonesia sebagaimana disampaikan sejarawan Prancis yang meneliti kebudayaan Indonesia, Denys Lombard.
Nasaruddin mengatakan masyarakat maritim memiliki filosofi kepemilikan bersama untuk tiga hal yaitu pantai, sungai (air tawar), dan api. Tidak ada satu kelompok/etnis yang berhak memonopoli ketiganya, sehingga tidak heran Indonesia menjadi “Jalur Sutera” yaitu jalur perdagangan internasional kuno dari peradaban Tiongkok. “Itulah sebabnya Sumpah Pemuda menjadi gampang karena budaya dasarnya adalah budaya maritim dengan filosofi pantai, sungai, dan api sebagai pemersatu bangsa,” kata Nasaruddin.
Pengalaman sebagai Minoritas Muslim
Finalis Y20 2022 Awards dan Ketua OSIS SMA Regina Pacis Surakarta, BRAj. Gayatri Kusumawardhani mengatakan pengalamannya sebagai minoritas Muslim di sekolah Katolik memberikan pelajaran berharga untuk melihat sudut pandang orang lain dan menilai tinggi keberagaman. Gayatri berasal dari lingkungan keluarga Keraton Solo yang kental dengan kebudayaan, namun keluarganya selalu mengedepankan nilai-nilai keterbukaan.
“Pengalaman saya hampir satu tahun menjabat ketua OSIS di sekolah Katolik sebagai seorang Muslim, saya betul-betul belajar apa itu artinya memahami dan apa itu arti toleransi,” kata Gayatri yang saat ini berada di Amerika Serikat sebagai penerima beasiswa Kennedy-Lugar Youth Exchange and Study (YES) Program.
Gayatri bersama OSIS SMA Regina Pacis Surakarta menginisiasi berdirinya Rumah Baca Nawala di pusat kota Surakarta. Proyek yang teprilih sebagai finalis Y20 Award itu bermisi menjembatani kesenjangan literasi di Surakarta. Y20 adalah kelompok para pemuda dari G20.
“Saya berusaha untuk selalu berangkat dengan semangat persatuan. Dengan semangat persatuan, saya mengesampingkan yang menjadi akar masalah perpecahan yaitu prejudice (prasangka), asumsi, dan stereotip, sebaliknya mengedepankan keterbukaan atas perbedaan,” kata Gayatri.
G20 Analyst dan Co-founder Indonesian Youth Diplomacy (IYD), Gracia Paramitha, Ph.D., mengatakan para pemuda saat ini menghadapi tantangan tumbuhnya keinginan berlebihan menunjukkan jati diri/identitas dan disinformasi yang masif. Sumpah Pemuda menjadi semakin bermakna agar para pemuda lebih menjunjung tinggi kebersamaan dan mengesampingkan ego identitas, serta kritis dalam mengonsumsi informasi media sosial.
Executive Director, Institute of Politics, University of Chicago, Zeenat Rahman, mengatakan pengalamannya bekerja dalam pemerintahan, organisasi nirlaba, sampai akademisi, menunjukkan pentingnya keterampilan untuk menavigasi perbedaan dan memiliki literasi tentang orang lain yang berbeda dengan kita. Dalam pengalamannya mendidik anak-anak muda, perangkat Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) dibutuhkan untuk membentuk pemimpin publik dan politik.
“Bagi saya, LKLB menjadi suatu keterampilan praktis. Bukan kita berusaha meyakinkan orang-orang menjadikan seseorang Islam, misalnya, tapi bagaimana kita berinteraksi dengan rasa hormat dan bekerja sama dalam masyarakat,” kata Zeenat yang pernah menjabat penasihat khusus urusan pemuda global untuk dua menteri luar negeri AS, Hillary Clinton dan John Kerry.
Finalis Y20 Awards 2022 dari Pakistan, Faisal Ilyas, mengatakan Pakistan menghadapi banyak tantangan seperti pengangguran, nutrisi rendah, kekerasan, ekstremisme, dan terakhir bencana banjir besar. “Orang-orang muda memainkan peran sangat penting untuk menyelamatkan orang-orang yang terdampak,” katanya. Di pihak lain, Kabid Pendidikan dan Pelatihan Masjid Istiqlal, Dr. Faried F Saenong, mengatakan tiga nilai inti dalam Sumpah Pemuda adalah inklusivitas, konektivitas, dan kontra kolonialisme. (IL/Chr)