T3LUSUR-SALATIGA Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menganalisis lebih jauh tentang kesalahan konsep (pemahaman), saya sebut pemahaman karena yang menulisnya ada kemungkinan bukanlah penganut Kristen atau Katolik, sebab jika yang menulis adalah seseorang yang menganut agama Kristen atau Katolik, maka bukan kemungkinan lagi, tetapi pasti penulisnya tidak mengerti dan tidak tahu konsep Ketuhanan dalam Agama Kristen dan Katolik.
Sekilas pada halaman 79 buku ini, ingin menjelaskan perkembangan agama-agama di Indonesia, dan pada bagian agama Kristen Protestan, walaupun dalam nomenklatur yang digunakan sekarang oleh pemerintah adalah Agama Kristen, tidak disebutkan Kristen Protestan. Dalam buku ini ada kesalahan yang sangat prinsipal menyangkut konsep Tuhan dalam pandangan Iman Kristen dan Katolik. Disebutkan dalam teks buku itu “Tuhan-nya adalah Allah, Bunda Maria dan Yesus Kristus sebagai tiga yang tunggal atau Trinitas. Injil menjadi kitab sucinya, dan beribadah setiap akhir pekan. Pada bagian agama Katolik disebutkan Tuhannya sama dengan Kristen Protestan, yakni Trinitas Allah, Bunda Maria, dan Yesus Kristus. Banyak sekali kemudian bermunculan kritik terhadap isi buku ini, yang kemudian meminta pihak yang berwenang dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menarik buka ini dari peredarannya. Sekali lagi saya tidak bermaksud untuk menganalisis lebih jauh kesalahan yang sifatnya sangat prinsip dalam agama (Iman Kristen).
Tidak hanya secara konseptual kesalahan yang tertera dalam buku itu, adalah hal yang perlu dilihat dalam kerangka yang lebih luas. Ada beberapa kata yang sengaja di bold dan miring fontnya untuk menunjukan ke-tidakkonsistenan dalam penulisan sebuah buku, apalagi buku yang menjadi acuan pembelajaran untuk pembentukan watak atau karakter anak bangsa (PPKn). Kesalahan-kesalahan dalam penulisan semisal penulisan font atau huruf (typo) adalah kesalahan yang wajar, akan menjadi masalah yang sangat rumit dan kompleks jika tejadi kesalahan (ketidak-konsistenan) dan berulang yang kemudian dapat “dianggap” sebagai sebuah kebenaran. Pernyataan dalam teks buku PPKn halaman 79 terkait dengan agama Kristen dan Katolik jelas-jelas salah dan kesalahan itu tentu dalam perspektif Iman Kristen. Pertanyaan kemudian adalah mengapa bisa demikian teks yang tertulis seperti itu, padahal sudah juga melelui proses validasi oleh pakar, ataukah memang dalam perspektif agama selain Kristen dan Katolik ada pemaknaan konsep seperti yang ter-deskripsi dalam buku ini khususnya halam 79 itu. Dalam konteks seperti ini, maka diperlukan dialog-dialog antar Iman dan diskusi intensif terkait “kebenaran” dalam perspektif yang lebih luas dan pemaknaan kebenaran yang memiliki sifat-sifat relativitas.
Dalam perspektif lmu, kebenaran dibagi menjadi dua bagian, yaitu kebenaran mutlak yang sifatnya tidak berubah serta tidak dipengaruhi oleh faktor lain, dan kebenaran relatif yakni kebenaran yang sifatnya dapat berubah serta dipengaruhi oleh faktor lain.
Kebenaran mutlak sumbernya adalah kitab suci. Klaim kebenaran yang bersumber dari kitab suci tidak akan berubah dan tidak terpengaruh oleh faktor lain apapun. Makanya konsep Trinitas adalah sebuah klaim kebenaran yang sifatnya mutlak karena bersumber pada kitab suci (Alkitab).
Salah satu kebenaran relatif, adalah kebenaran rasional yang bersumber pada indera yang kemudian menghasilkan kebenaran empirik. Ia akan berubah jika terjadi pengamatan yang berbeda, hal ini sesungguhnya yang disebut dengan pengaruh faktor lain. Disini kita berhenti membahas kebenaran yang mutlak sifatnya. Kesalahan yang terjadi pada buku PPKn, terbitan Kemendikbud, secara subtansi yang tertulis pada buku itu harus dinyatakan salah dan segera para pihak yang berwenang menariknya dari peredarannya, karena tentu ada banyak kemungkinan bias interpretasi” yang berdampak pada kerukunan hidup umat beragama, ditengah-tengah usaha kita semua untuk mengedepankan “Konsep Moderasi Beragama” di Indonesia.
Saya ingin melanjutkan sedikit ulasan saya terkait “relativitas kebenaran” yang dalam perspektif orang kebanyakan sering disalah tafsirkan, dan sering juga menganggap sebagai “kebenaran yang mutlak” walaupun berasal dari sumber-sumber yang sifatnya rasional.
Kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dan objek (dikutip dari laman Wikipedia Indonesia), artinya ada persesuaian antara yang diketahui (pengetahuan) dengan kondisi real (dalam hal ini objek) yang menjadi konsep pembenaran.
Filsuf yang mendahului konsep ini adalah Rene Descartes anak dari Joachim-Descartes. Seorang filsuf dengan “aliran rasionalisme keras” yang mengembangkan paradigma Cogito Ergo Sum (1596-1650), barulah kemudian muncul Baruch De Spinoza atau Benedictus de Spinoza (1632-1677), Lebniz dan para filsuf lainnya yang mengembangkan pemikiran rasional Renatus Cartesian (Rene Descartes). Intinya mereka mengembangkan kebenaran yang sifatnya rasional dengan filsafat rasionalismenya.
René Descartes adalah pendukung utama teori kebenaran dalam kaitan dengan kebenaran yang sifatnya “korespondensi”, salah satu sifat lainnya. Kata Descartes “Saya tidak pernah memiliki keraguan tentang kebenaran, karena tampak bahwa gagasannya sangat jelas secara transendental sehingga tidak ada yang bisa mengabaikannya. “Kebenaran’ dalam arti sempit menunjukkan kesesuaian pikiran dengan objeknya”, bahkan Immanuel Kant cenderung menyetujui dan mendukung kebenaran ini.
Kebenaran korespondensi (Correspondence of Truth) menurut Descartes adalah yang paling awal dan paling tua yang berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles. Dalam konsepnya dikatakan bahwa segala sesuatu yang kita ketahui dapat dikembalikan pada realitas yang dikenal oleh subjek, atau dengan kata lain bahwa suatu proposisi bemilai benar apabila saling berkesesuaian dengan realitasnya
Ada hal yang saya kira menarik dari kasus buku diatas yang bisa saja terkait dengan kebenaran menurut subjek (penulis), hal ini berkaitan dengan sebuah teori kebenaran yang dinamakan kebenaran Inherensi (Inherent Theory of Truth), kebenaran dalam teori ini sering disebut dengan teori pragmatis. Pandangannya bahwa suatu proposisi bernilai benar apabila mempunyai konsekuensi, dan dapat digunakan atau memiliki asas manfaat. Ukuran yang digunakan sebuah atau satu konsekuensi, atau proposisi yang digunakan dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian yang memuaskan, baik pada pengalaman maupun pernyataan itu sendiri yang bernilai benar (proposisi yang benar). Saya kira agak masuk dalam alur logis juga bila penulis ada dalam pandangan seperti ini, artinya dia tidak lagi menggunakan kebenaran mutlak yang sumbernya dari kita suci.
Diskursus tentang kebenaran dalam ranah filsafat sudah dimulai sejak Plato dan diteruskan oleh Aristoteles. Plato melalui metode dialog dan telah membangun teori yang relatif lengkap sebagai teori pengetahuan awal, lalu kemudian teori pengetahuan itu terus berkembang dan mendapatkan berbagai bentuk penyempurnaan sampai masa kini. Artinya bahwa kita tidak dalam poisisi mencari kebenaran dalam konteks perkembangan filsafat, harus lebih dari itu bahwa dalam kerangka menjaga kehidupan yang lebih bermakna, maka dibutuhkan pengetahuan dengan kerangka berpikir yang lebih maju melalui metode dialog yang sebetulnya telah dikembangkan oleh Plato, dalam usaha membangun peradaban yang lebih baik.
Berbuat kesalahan adalah kekurangan manusia, namun belajar dari kesalahan adalah kelebihan manusia. Bersyukurlah atas kesalahanmu, karena banyak orang akan mengajarimu pengetahuan yang berharga, dan dari sebuah kesalahan kita akan menemukan “kebenaran.”
Penulis adalah : Pembina YPTKSW Salatiga