Jakarta t3lusur.com Permintaan Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, Yadi Hendriana dari Dewan Pers agar awak media tidak berspekulasi lebih jauh terkait pemberitaan penembakan di rumah dinas Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo, masih bisa ditolerir, karena memang tidak boleh membuat berita dengan cara spekulasi.
Tetapi untuk mengharuskan awak media hanya bersumber dari keterangan resmi pihak kepolisian dan Mabes Polri, bukan saja sebagai ajakan kebodohan, tetapi juga bisa dikatakan telah melanggar hak kebebasan pers dalam mencari, mengumpulkan hingga menginformasikan secara lebih meluas kepada masyarakat apa yang perlu untuk disampaikan sebagai upaya dari pencerahan atas cerita dibalik berita tersebut.
Jadi menekankan pemberitaan semata-mata pada penjelasan Mabes Polri itu, seperti yang dikatakan oleh seorang Ketua a
Dewan Pers Untuk Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, (NKRIPost, 17 Juli 2022), justru sangat memprihatinkan. Sebab himbauan seperti itu sungguh tidak layak dan tidak pantas dilakukan seorang Ketua Dewan Pers yang membawahi bidang Etika. Sebab yang terkesan adalah kepongahan dari akibat tidak memahami UU Pers No. 40 Tahun 2019)
Kalau pun ada pemberitaan yang telah dibuat oleh insan pers yang bersifat spekulasi itu, tiada salah untuk ditegur, sehingga tidak perlu pasang omong di publik. Karena pada dasarnya insan pers pun paham dan mengerti jika pemberitaan itu tidak boleh dibuat dengan cara spekulasi, karena akibatnya ada saksi, baik secara Etika maupun sanksi hukum. Tentu yang lebih patut dipahami adalah saksi moral dari bilik agama.
Pernyataan Yadi Hendriana, Sabtu 16 Juli 2022 itu, sepatutnta bisa dicabut, agar tidak sampai menimbulkan kebingungan dari insan pers di Indonesia yang sedang bertumbuh serta berkembang untuk menadikan profesi pekerjaan utamanya bagi media online yang tengah menjadi idola warga masyarakat. Dan sebagai peluang lapangan pekerjaan dari profesi pers yang patut dibina dan dikembangkan di negeri ini.
Kalau pun kisah kejadian yang dimaksud Yedi Herdiana itu dikirim bersifat khusus, lalu jenis kejadian seperti apa yang tidak khusus itu, sehingga boleh ditulis secara serampangan ?
Sepanhang pengetahuan penulus, tidak ada kasus yang bersifat khusus sehingga tidak boleh ditulis dengan cara spekulasi, apalagi kemudian harus berdasarkan satu nara sumber pengarah. Karena jalinan dari kebenaran cerita di balik berita itu yang sesungguhnya tetap perlu diinvrstigasi dari berbagai sumber, saksi pembanding bahkan analisis para pakar dan para ahli.
Jadi untuk tidak lebih mempermalukan institusi Dewan Pers, sebaiknya himbauan yang lebih terkesan mengintimidasi insan pers ini bisa dicabut. Atau setidaknya dapat diralat agar tidak terkesan adanya pesan politik dibalik cerita pemberitaan yang belum terkuak itu.
Itulah sebabnya sejak awal, saya dan kawan-kawan penulis lainnya seperti sepakat untuk menahan diri tidak memberi komentar tentang kasus yang pasti rumit ceritanya itu. Sebab masalah karier bisa bercampur baru dengan soal asmara yang sulit dipadamkan.
Logika konyol untuk mengharap pemberitaan harus dilakukan secara transparan dan berdasarkan fakta-fakta di lapangan, justru tidak mungkin bisa diharapkan bila hanya dari satu sumber pemberitaan yang tidak ada pembanding atau upaya melakukan klarifikasi pada kebenaran dari sumber berita tunggal tersebut.
Kesadaran insan pers terhadap dampak suatu pemberitaan pasti sangat disadari dan dipahami. Jika tidak, apa urgensinya menulis atau melaporkan suatu pemberitaan, jika tidak berharap ada dampak positif dari perspektif sang jurnakus atau bagi nsan pers yang bersangkutan. Termasuk penulis freekance seperti saya dan kawan-kawan yang enggan berkomentar tentang kejadian yang memalukan dan memalukan itu..
Ditulis oleh
Jacob Ereste wartawan sinior
Banten 17 Juli 2022