T3LUSUR-TANAH TINGGI Tiga puluh tahun yang lalu, Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) dideklarasikan untuk membela kepentingan kaum buruh Indonesia, karena banyak hak-hak normatif yang sepatutnya diterima tidak diberikan oleh pihak perusahaan.
Bahkan hak-hak buruh untuk berserikat pun — sebagaimana yang telah diratifikasi dari konvensi ILO (International Labour Organization) oleh negara Indonesia tidak hanta diabaikan, tapi justru oleh pemerintah Indonesia sendiri sampai hari ini.
Hasil perjuangan SBSI yang menggulirkan reformasi bersama mahasiswa serta rakyat juga mengembalikan sejumlah peraturan perburuhan berikut konvensi ILO yang diratifikasi kembali semasa Presiden BJ. J Habibie.
Itu semua menunjukkan betapa despotik dan otoriternya rezim Orde Baru, hingga istilah buruh pun diganti dengan sebutan tenaga kerja dalam semua peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sampai sekarang.
Begitulah perlawanan budaya politik, budaya ekonomi dan budaya dalam berbangsa dan bernegara di Indonesia yang dilakukan SBSI, meski sangat kecil sekali indeks keberhasilannya secara akademik. Karena siapapun boleh menilai kegagalan SBSI yang berani menyandang gelar sebagai pihak oposan dari rezim penguasa yang sangat represif ketika itu, hingga nyaris tidak ada organisasi massa utama LSM yang mau tampil ke depan, dibanding setelah reformasi digulurkan hingga berkecambahnya organisasi buruh seperti adanya sekarang. Sebab pada zaman Orde Baru itu yang ada hanyaSerikat Pekerja Sekuruh Indonesia (SPSI) yang terkenal dengan sebutan organisasi plat merah. Karena memang seperti kendaraan yang ditumpangi oleh kepentingan pihak pemerintah.
Sementara SBSI tak cuma distikma organisasi buruh berhaluan komunis. Hingga semua aktivis SBSI dituduh anak keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sudah dinyatakan terlarang dan dibebukan oleh perintah segenap aktivitas dan kegiatannya sejak pemberontakan G30S gagal tahun 1965-an dulu itu.
Setidaknya, Ketua Umum SBSI Muchtar Pakpahan terus diekspose memiliki keterkaitan dengan peristiwa berdarah Bandar Betsi di Sumatra Utara itu. Jika pun begitu, toh tidak sedikit aktivis SBSI yang berasal dari kalabgan sabtri, punya juga pondok pesantren, apalagi dari kalangan akadenis.
Minimal, sejumlah keberhasilan SBSI bisa dinikmati oleh warga bangsa Indonesia yang mendambakan suasana merdeka di negerinya sendiri. Kemenandan secara hukum gugatan SBSI terhadap Kapolres Jajarta Selatan akibat melarang, menghanbat dan menghebtikan pemenrasa Teater Buruh Pabrik SBSI yang hendak menampilan drama kolosal, telah mengurangi kerumitan perijinan pementasan kesenian di Indonesia yang sekalu membuat kalangan seniman dan budayawam di Indonesia tak berdaya.
Hari ini, sekedar mengenang tonggak sejarah perlawanan budaya terhadap rezim yang semena-mena, tidak ananah menjalankan mandat rakyat, mungkin masih harus dilanjutkan, atau sudah kelelahan seperti SBSI pada hari ini, di Sekretariat Jl. Tanah Tinggi II No. 25 Jakarta Pusat, sekedar mengadakan acara renungan sesaat dengan basi tumpeng seadanya, karena memang cukup sulit untuk mengurai sejarah penjang SBSI yang telah merentang kebih dari seperempat abad ini. Termasuk merenungkan muatan nilai kebersanaan semasa susah di Sekretariat SBSI saat berada di Kawasan Kayu Ramin, Utan Kayu, Jakarta Timur. Karena di tempat itu juga sejarah hidup dan mati organisasi ditentukan. Sampai akhirnya berada pada puncak kiprahnya untuk dan demi bangsa dan negara Indonesia menyongsong masa depan yang lebih baik, lebih beradab, lebih sejahtera dan berkeadilan.
Jadi tajuk bincang 30 tahun SBSI sebagai nostalgia dengan Irde Baru hingga menuju reformasi tahun 1998, boleh saja dipaham sebagai satu babak dari keberadaan SBSI melawan budaya anti kritik yang selalu ingin memaksakan kehendaknya yang dominan tidak sesuai dengan keinginan rakyat. Resikonya tentu berbeda dengan babak berikut dari apa yang masih ingin dilakukan SBSI hari ini bersama sejumlah fraksinya yang kini telah memiliki kiblat di keempat penjuru angin.
Tanah Tinggi, 25 April 2022