Jakarta t3lusur.com Beberapa keluarga yang hadir pada acara ramah-tamah di Jakarta yang diadakan oleh Hendrik Wowor dari Yayasan Agape baru-baru ini merasa seperti keluarga besar yang sedang reuni. Berangkat dari latar belakang yang sama di mana anak-anak mereka tergelincir ke dalam sumur narkoba yang menjerat, yang membuat separuh hidup kita menjadi gelap, dan bahkan tidak tahu harus berbuat apa.
Masih membekas dalam ingatan kita, ketika Komjen Pol. Anang Iskandar masih menjabat sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) sebelum digantikan oleh Komjen Pol. Drs. Heru Winarko, S.H., Anang Iskandar menyebutkan bahwa narkoba dan status Indonesia dalam darurat narkoba, ada sekitar 50 orang meninggal setiap hari karena penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, dengan kerugian ekonomi maupun sosial mencapai Rp 63 triliun per tahun.
Saat ini Indonesia sedang darurat narkoba dengan mortality rate yang sangat memprihatinkan, yaitu 100 ribu setiap tahunnya akibat penyalahgunaan narkoba, berdasarkan laporan BNN per september 2020, angka ini meningkat 28,8 % dari tahun sebelumnya dan mortality rate ini merupakan titik tertinggi akibat penyalahgunaan narkoba di Indonesia.
Status Indonesia yang gawat darurat narkoba, membuat pemerintah memberlakukan Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) kepada setiap lembaga yang menyelenggarakan rehabilitasi bagi pecandu narkoba. IPWL merupakan sistem kelembagaan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Bagi Pecandu Narkotika. Intitusi atau lembaga ini merupakan implementasi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika khususnya pasal 55. Yayasan Pelayan Agape adalah salah satu lembaga sah yang menjadi Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) dan bermitra dengan Kementerian Sosial RI sejak tahun 2015.
Sebagai orang yang sudah berkecimpung dalam rehabilitasi narkoba selama dua dekade, Hendrik Wowor, pria paruh baya yang kalem ini merasa sangat miris dengan data Prevalensi Pengguna Dan Pecandu Narkoba di Indonesia yang jumlahnya sudah mencapai 3.6 juta orang (Survey BNN RI per 5 Des 2019) Lebih miris lagi bahwa jenis Narkotika yang masuk ke Indonesia sudah mencapai 803 jenis dan baru sekitar 47 jenis yang di atur oleh UU & PERMENKES RI/20/2018. Pekerjaan rumah yang sangat berat bagi lembaga-lembaga sosial yang berusaha menekan angka korban hidup dan mati akibat penyalahgunaan narkoba / obat-obatan psikotropika.
BNN sendiri menargetkan dapat merehabilitasi 100.000 orang setiap tahunnya untuk menekan laju pertumbuhan masyarakat yang terpapar sebagai pecandu narkoba, karena narkoba jenis baru akan selalu muncul. BNN sudah mendeteksi keberadaan 48 jaringan pengedar narkoba di seluruh Indonesia, hukuman mati merupakan satu-satunya solusi untuk memberikan efek jera terhadap para pengedar narkoba dan Indonesia telah menetapkan hukuman mati untuk solusi menghadapi para pengedar narkoba.
Hendrik Wowor adalah pendiri yayasan Agape yang berlokasi di tempat yang teduh, dikelilingi pohon-pohon rindang di Cisarua Bogor, suatu tempat yang ideal untuk tetirah (tempat penyembuhan). Berangkat dari niat tulusnya untuk membantu seorang pasien pecandu narkoba, dan atas saran temannya, Hendrik mendirikan Yayasan Agape pada tahun 2000 yang tujuannya ingin membantu saudara-saudara yang telah menjadi pencandu.
Hendrik menggunakan pendekatan secara holistic dalam mengobati pasiennya, seiring dengan berjalannya waktu, ia banyak menemukan pecandu yang awalnya dijadikan kurir narkoba oleh bandar-bandar narkoba yang ada di wilayah Bogor dan sekitarnya bahkan sejak mereka masih duduk di bangku sekolah menengah pertama dan kebetulan mereka berasal dari keluarga yang tinggal di sekitar Cisarua. Agape dengan tulus dan senang hati memberikan pelayanan bagi masyarakat umum yang memang butuh pertolongan tanpa membedakan golongan, keyakinan ataupun strata sosial, di luar pasien inapnya.
Hingga saat ini Hendrik bersama stafnya sudah merawat ratusan pasien silih berganti dan tentu saja saat ini keberadaan kamar-kamar pasiennya sudah tidak memadai dan perlu banyak dilakukan renovasi. Hendrik bermimpi mendirikan bangunan Rehabilitasi pecandu narkoba yang lebih baik dan representatif bagi kesembuhan para pecandu narkoba, sehingga mereka akan merasa lebih nyaman dan tidak merasa berada dalam pusat rehabilitasi. Sejauh ini Hendrik sudah memulai dengan membangun di lokasi yang lebih luas, tidak jauh dari bangunan lama Yayasan Agape. Hendrik ingin mewujudkan mimpi besarnya ini bersama teman-teman yang ingin melihat Indonesia bangga dan tersenyum kembali saat mendapati mantan-mantan pasiennya dapat membangung negeri dan hidup mereka kembali terang-benderang.
Harapan Hendrik ke depan adalah perlunya sinergisitas yang benar-benar solid antara sesama Lembaga Rehabilitasi yang tujuannya untuk membantu Negara dalam menyelesaikan problematik narkoba. Seyogyanya UU Narkoba dapat ditinjau kembali, agar pembatasa korban dan pelaku lebih jelas. Menurut Hendrik, korban narkoba itu adalah orang sakit jadi harus diobati bukan dipenjara dan tempat mengobatinya adalah di tempat-tempat rehabilitasi, sedangkan pengedarnya baru dipenjara. Ada sekitar 190-an Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) panti rehab narkoba di bawah Kemensos. Tentu saja kapasitas di Direktorat Napza di Kemensos tidak sebanding banyaknya Lembaga Rehabilitasi, SDM yang memberikan supervise pasti sangat kewalahan.
“Oleh karena itu perlunya penguatan peran lembaga rehabilitasi non pemerintah,” tegas Hendrik.
Yayasan Agape memberikan 2 jenis pelayanan, yaitu Rehabilitasi Inap dimana ada tempat yang disediakan sementara Rehabilitasi Jalan, ada konsuler-konsuler yang langsung turun ke lapangan untuk memberikan edukasi kepada para anak jalanan. Pasien penghuni tempat Rehabilitasi di Agape berasal dari berbagai usia, mulai remaja hingga para manula.
“Ancaman besar bagi bangsa Indonesia adalah Korupsi, Terorisme dan Narkoba, dan yang paling besar adalah narkoba. Saat ini saya bersama teman-teman di Yayasan Agape sedang merehabilitasi korban narkoba, judi online, dan pasien dengan gangguan kejiwaan, kita sama-sama berdoa dan bergandengan tangan dalam menghadapi bahaya narkoba ini” Hendrik menutup pembicaraan seraya menawarkan teh hangat dan sepiring pisang goreng.
Oleh: Nia S. Amira