JAKARTA-T3LUSUR Presiden Joko Widodo telah menyatakan berkali-kali bahwa dirinya taat dan tunduk kepada Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu Undang Undang Dasar 1945.
Hal itu untuk menepis adanya wacana atau desakan segelintir orang yang mendorong Presiden Ke-7 Republik Indonesia itu untuk melanggar UUD 1945 mengenai masa jabatan Presiden, dengan mencoba mengusung isu Perpanjangan Masa Jabatan Presiden, mendesak adanya Periode Ketiga, dan atau upaya menunda pelaksanaan Pemilu 2024.
Penghargaan kepada Joko Widodo sebagai Tokoh Taat Konstitusi itu, disampaikan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Kristen Indonesia (UKI), Prof Dr John Pieris saat menjadi Pembicara dalam Dialog Kebangsaan Serie 2 bertema ‘Kudeta Konstitusi: Indonesia Menuju Negara Diktator’, yang diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Pusat Partisipasi Kristen Indonesia (DPP PARKINDO) Masa Pelayanan 2021-2026 secara virtual, pada Selasa, 08 Maret 2022.
Prof John Pieris menyebut, Presiden Joko Widodo dipaksa oleh sejumlah orang dan atau kekuatan beberapa oknum di partai politik dengan berbagai cara, agar bersedia melabrak konstitusi dengan Tiga Periode Presiden atau Perpanjangan Masa Jabatan Presiden, atau pun mengundurkan pelaksanaan Pemilu 2024.
Namun, dengan tegas Presiden Joko Widodo menolak niat orang-orang itu. Dan Joko Widodo menegaskan, dirinya tetap taat kepada Konstitusi NRKI yaitu Undang Undang Dasar 1945.
“Pak Jokowi berkali-kali sudah menyatakan bahwa dirinya tunduk dan taat kepada Konstitusi, yaitu Undang Undang Dasar 1945. Karena itu, saya menyarankan, lewat Parkindo ini, bahwa Pak Jokowi layak diberikan penghargaan sebagai Bapak yang Taat Konstitusi,” tutur Prof Dr John Pieris.
Prof Dr John Pieris melanjutkan, sikap tegas dari seorang Presiden Joko Widodo yang taat dan tunduk kepada UUD 1945 itu harus didukung oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia.
“Terutama oleh para menterinya di kabinet, juga oleh seluruh pendukung, relawan, atau apa pun namanya. Sebab, seluruh elemen bangsa dan Negara Indonesia memang wajib tunduk dan taat kepada Konstitusi,” ujar mantan anggota MPR RI ini.
Hadir sebagai pembicara dalam dialog ini yakni Prof Dr John Pieris, Guru Besar Tata Negara Universitas Kristen Indonesia (UKI), Dr Budiman NPD Sinaga, Akademisi Universitas Nommensen, Medan, dan Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy And Policy Studien (PEPS), Presidium Poros Peduli Indonesia (Populis), dengan moderator Ketua Bidang Politik DPP PARKINDO, Charles D Sirait.
Dialog ini juga diikuti oleh Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) asal Kalimantan Tengah atau Senator, Agustin Teras Narang, Tokoh Kristen Prof Albertus Patty, Politisi Senior Bursah Zarnubi, Politisi PDIP I Wayan Sudirta, Dewan Pembina DPP PARKINDO Dr Lintong Manurung, Ketua Umum DPP PARKINDO Lukman Doloksaribu, Sekjen DPP PARKINDO Besli Pangaribuan, para pengurus DPP PARKINDO, aktivis mahasiswa lintas kampus, aktivis kepemudaan lintas organisasi, para akademisi, politisi, dan lain-lain.
Lebih lanjut, Prof John Pieris menyebut, usulan-usulan yang diduga telah mencederai konstitusi, seperti adanya upaya oleh segelintir oknum di partai politik dan relawan Jokowi yang mendesak-desak agar Presiden Jokowidodo melanggar konstitusi dengan masa jabatan tiga periode, atau memperpanjang masa jabatan, adalah bentuk pembangkangan terhadap konstitusi yang sah.
Apalagi, katanya, jika wacana itu hanya dikarenakan kepentingan sempit oleh para oknum itu, maka mereka layak mendapatkan sanksi atas dugaan pelanggaran konstitusi tersebut.
“Mereka bisa dikenakan sanksi. Walau pun sanksinya bukan lewat proses yudisial atau peradilan, tetapi sanksi sosial dan sanksi politik dari masyarakat sangat nyata,” lanjut Prof John Pieris.
Prof John Pieris menegaskan, mengenai masa jabatan Presiden telah dengan tegas dan jelas diatur pada Pasal 7 Undang Undang Dasar 1945 tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Bunyinya, ‘Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.’
Kemudian, Prof John Pieris juga mengulas Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Mengandung pengertian bahwa segala tatanan kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara adalah didasarkan atas hukum.
“Oleh karena itu, sangat tegas dinyatakan bahwa Negara Hukum itu harus ditaati. Indonesia adalah Negara Hukum, bukan berdasarkan kekuasaan. Sebab, jika segala sesuatu didasarkan pada kepentingan politik, apalagi politik kepentingan sesaat, maka itu namanya Negara Kekuasaan. Padahal, Indonesia adalah Negara Hukum. Dan Indonesia sepakat, kita semua harus taat dan tunduk pada hukum itu. Kita semua, termasuk Presiden wajib tunduk dan taat kepada UUD 1945,” terang Prof John Pieris.
Prof John Pieris juga tidak menafikan bahwa UUD 1945 bisa diamandemen atau diubah. Tetapi, tegasnya, persyaratan dan kondisi maupun faktor-faktor untuk mengubah konstitusi itu tidak mudah.
Bahkan, katanya, jika pun di Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 menyebut ‘Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang’, itu pun bukan berarti Presiden dengan mudahnya mengeluarkan Perpu.
“Syaratnya sangat berat, rumit dan sangat tidak mudah. Perpu pun harus taat kepada konstitusi. Harus menurut UUD 1945. Tidak boleh hanya karena desakan sekelompok kepentingan belaka, tidak boleh hanya karena keinginan-keinginan sepihak belaka. Atau, tidak boleh juga hanya karena keinginan parpol saja. Jadi UUD 1945 itu wajib hukumnya untuk ditaati dan dipatuhi,” terang John Pieris.
Bagi Prof John Pieris, pihak-pihak yang sedang berupaya mengutak-atik UUD 1945 saat ini, adalah pelecehan terhadap Bangsa dan Negara Republik Indonesia.
“Itu sama saja juga melecehkan para Reformator Indonesia, mencederai hasil-hasil perjuangan Reformasi. Yang menginginkan waktu itu, agar masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dibatasi. Agar seluruh rakyat bisa mengawasi dan mengawal kinerja kekuasaan,” tuturnya.
Karena itulah, Prof John Pieris menyebut, kelompok-kelompok Relawan Jokowi yang gembar-gembor hendak meminta Presiden kembali mengubah UUD 1945 dengan masa jabatan tiga periode adalah kelompok yang bersengaja melecehkan konstitusi.
“Kasihan sekali mereka. Mungkin hanya karena mendapat sedikit logistik seperti bikin kaos, bikin seminar atau duit untuk konperensi-konperensi pers malah dengan membabibuta mendesak agar tiga periode Presiden. Itu sungguh pelecehan terhadap Konstitusi Indonesia,” ujarnya.
Soal mengubah konstitusi, John Pieris mengingatkan agar tidak semena-mena dan tidak semudah berkoar-koar di media-media. Sebab, ada mekanisme panjang, ada kondisi yang sangat darurat, atau kepentingan jangka panjang Bangsa Indonesia, yang harus dipertimbangkan secara riil dan nyata.
“Mengubah UUD 1945 memang tidak tabu. Namun bukan berarti jadi bisa sewenang-wenang menyatakan mengubah Konstitusi. Mengubah Konstitusi juga harus taat kepada Konstitusi itu sendiri,” jelasnya.
Prof John Pieris menyebut ungkapan salah seorang Tokoh Bangsa Indonesia, dokter Johannes Leimena, yang di era Presiden Soekarno adalah seorang yang taat konstitusi dan tidak mendewakan kekuasaan dalam memimpin Negara.
“Seperti dokter Johannes Leimena pernah menyampaikan, ‘Politik bukan alat kekuasaan, tetapi etika untuk melayani’. Jadi, berpolitik itu juga harus beretika dan melayani rakyat dengan sungguh-sungguh. Itulah yang mesti dikedepankan. Bukan kepentingan sesaat dan kepentingan sesat ya,” tutur Prof John Pieris.
Prof John Pieris juga mengingatkan, Konstitusi adalah juga tatanan untuk menjadikan politik dan demokrasi di Indonesia menjadi sehat dan langgeng.
Karena itu, UUD 1945 perlu dijaga dan dirawat dengan baik. Dan yang paling terdepan menjaga dan merawat UUD 1945 itu adalah Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, Lembaga-Lembaga Negara, Lembaga-Lembaga Pemerintahan, Partai Politik dan seluruh elemen masyarakat Indonesia.
“Dalam pendekatan filsafat hukum, politik dan demokrasi itu harus sehat. Dan dirawat dengan sehat juga. Jangan ada lagi anasir-anasir oligarki sempit atau tirani sempit yang mencoba mengkudeta Konstitusi kita. Kita semua harus menjaga dan merawat konstitusi kita,” tandas Prof John Pieris.
Senator asal Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang menyebut, sejauh ini di Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), belum ada pembahasan atau usulan untuk membahas perubahan UUD 1945, terutama dalam urusan masa jabatan Presiden.
“Yang ada, beberapa kawan sesama anggota DPD, bisik-bisik di luar, mengenai masa jabatan Presiden ini. Dan yang saya tangkap, teman-teman itu tidak setuju dengan perubahan masa jabatan atau pun perpanjangan masa jabatan Presiden itu,” tutur Teras Narang.
Mantan Gubernur Kalimantan Tengah dua periode ini menyebut, dalam melakukan perubahan UUD 1945, ada mekanisme panjang yang harus diikuti. Setiap anggota DPR bersama anggota DPD untuk MPR, juga dihitung dalam pengusulan perubahan UUD 1945.
“Itu pun belum tentu usulan akan disetujui untuk melakukan pembahasan. Mesti jelas data, fakta dan juga prosesnya. Nah, kami di DPD belum ada membahas soal itu. Mungkin nanti dalam rapat DPD akan coba ditanyakan,” tutur Teras Narang.
Mantan Ketua Komisi II dan Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PDIP ini juga menyatakan tidak setuju agar usulan perubahan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden itu dibahas di DPD dan MPR.
“Sebab, sejauh ini tidak ada usulan, dan tidak ada kondisi yang memaksa agar itu dibahas. Situasi Indonesia aman-aman saja. Masih dalam kendali yang normal. Kita memang harus taat dan tunduk kepada konstitusi kita yakni UUD 1945,” ujar Teras Narang.
Sementara, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partisipasi Kristen Indonesia (DPP PARKINDO), Lukman Doloksaribu menyampaikan, setiap Warga Negara Indonesia wajib taat dan tunduk kepada ketentuan di UUD 1945.
Upaya-upaya untuk melakukan perubahan konstitusi bukan pada tempatnya, lanjut Lukman Doloksaribu, layak diidentifikasi sebagai pihak-pihak yang mencoba melakukan makar dan hendak mengubah tatanan berbangsa dan bernegara secara ilegal.
“Kita DPP Parkindo tegak lurus dengan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu UUD 1945. Dan ini akan kita gerakkan terus, agar taat dan tunduk kepada Konstitusi,” tandas Lukman Doloksaribu.*
*
Proses Kudeta Konstitusi Itu Kian Nyata, Presiden Joko Widodo Diminta Segera Tertibkan Luhut, Para Menteri dan Relawan Dadakannya
Presiden Joko Widodo diminta segera menertibkan beberapa anggota Kabinetnya, yang diduga terus melancarkan upaya kudeta terhadap Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu Undang Undang Dasar 1945.
Pengamat Sosial Politik dari Presidium Poros Peduli Indonesia (Populis), Anthony Budiawan mengungkapkan, proses kudeta konstitusi kian nyata terjadi.
Hal itu bisa dibuktikan dengan pernyataan dan trigger yang disampaikan sejumlah anggota Kabinet Indonesia Maju Jilid II Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Seperti, seperti Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto yang juga Ketua Umum DPP Partai Golkar, Menteri Investasi Indonesia yang merangkap Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, bersama sejumlah kaki tangan mereka, dalam bentuk-bentuk relawan dadakan, yang terus berupaya melakukan kudeta konstitusi, dengan memaksakan kegaduhan mengusung perubahan UUD 1945 untuk masa jabatan Presiden menjadi tiga periode, atau perpanjangan masa jabatan Presiden, dan atau penundaan penyelenggaraan Pemilu 2024.
Anthony Budiawan yang merupakan Managing Director Political Economy And Policy Studies (PEPS) Presidium Poros Peduli Indonesia (Populis) ini mengaku jengkel sekali dengan ulah para menteri yang tidak taat kepada Presiden Republik Indonesia, mau pun kepada Undang Undang Dasar 1945.
“Saya melihat, dan juga sudah dipublikasikan di sejumlah media massa, bahwa para menteri itu sendiri yang berupaya mendorong terjadinya kudeta konstitusi. Menteri apaan begitu? Mereka yang diduga merancang kudeta. Dengan mendorong masa jabatan tiga periode, atau perpanjangan masa jabatan Presiden, atau penundaan Pemilu 2024,” tutur Anthony Budiawan.
Padahal, Presiden sendiri sudah berkali-kali menyatakan akan taat dan tunduk kepada Konstitusi, akan tunduk kepada Undang Undang Dasar 1945. Kok ada anggota kabinet yang malah bertentangan dengan Presiden.
“Mereka itu harus segera ditertibkan oleh Bosnya, yaitu Presiden sendiri. Sikap dan langkah mereka itu sangat berbahaya. Kudeta konstitusi itu sedang terjadi. Itu nyata,” lanjut Anthony Budiawan.
Hal itu ditegaskan Anthony Budiawan saat menjadi Pembicara pada Dialog Kebangsaan Serie 2 bertema ‘Kudeta Konstitusi: Indonesia Menuju Negara Diktator’, yang diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Pusat Partisipasi Kristen Indonesia (DPP PARKINDO) Masa Pelayanan 2021-2026 secara virtual, pada Selasa, 08 Maret 2022.
Hadir sebagai pembicara dalam dialog ini yakni Prof Dr John Pieris, Guru Besar Tata Negara Universitas Kristen Indonesia (UKI), Dr Budiman NPD Sinaga, Akademisi Universitas Nommensen Medan, dan Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy And Policy Studies (PEPS), Presidium Poros Peduli Indonesia (Populis), dengan moderator Ketua Bidang Politik DPP PARKINDO, Charles D Sirait.
Dialog ini juga diikuti oleh Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) asal Kalimantan Tengah atau Senator, Agustin Teras Narang, Tokoh Kristen Prof Albertus Patty, Politisi Senior Bursah Zarnubi, Politisi PDIP I Wayan Sudirta, Dewan Pembina DPP PARKINDO Dr Lintong Manurung, Ketua Umum DPP PARKINDO Lukman Doloksaribu, Sekjen DPP PARKINDO Besli Pangaribuan, para pengurus DPP PARKINDO, aktivis mahasiswa lintas kampus, aktivis kepemudaan lintas organisasi, para akademisi, politisi, dan lain-lain.
Anthony Budiawan juga memperingatkan, kondisi Indonesia saat ini sudah benar-benar sedang berada di bawah ancaman kudeta oleh kelompok oligarki dan tirani.
“Indonesia sudah diambang bahaya. Negara diktator semakin nyata. Negara yang diperintah oleh sekelompok kecil tirani, dengan cara-cara represif, itu sedang dipraktekkan di Indonesia,” tutur Anthony.
Anthony menyebut, kriteria sebuah Negara sudah masuk dalam kualifikasi diktator antara lain berupaya mengutak-atik Konstitusi Negara, secara khusus untuk masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Anthony merincikan, karakteristik Negara Diktator itu antara lain, menunda Pemilu, berupaya memperpanjang masa jabatan dan kekuasaannya, bertindak represif, seperti kepada konstitusi. Mereka memaksakan kehendaknya secara represif untuk mengubah Undang Undang Dasar.
“Kemudian, tidak taat hukum. Hukum hanya jadi alat yang disalahgunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Dan bukan untuk kepentingan rakyat. Sering melakukan tindakan yang bertentangan dengan kehendak rakyat, dan juga adanya dominant party. Atau parpol lebih dari satu yang dominan. Dan itu semua, sekarang ada dan terjadi di Indonesia,” beber Anthony.
Lebih lanjut, Anthony menyebut Dominant Party itu perlahan menjadi kartel politik dan kekuasaan. Yang merangsek masuk ke lembaga legislatif dan lembaga yudikatif.
“Sehingga mereka dengan sewenang-wenang membuat Undang-Undang yang bertentangan dengan kehendak rakyat, dan juga berupaya mengkudeta konstitusi demi kelanggengan segelintir kepentingan kelompok oligarki atau tirani itu,” ungkapnya.
Contoh paling nyata di Indonesia, lanjut Anthony, adalah mengenai ketentuan President Threshold atau PT yang dimonopoli oleh Dominant Party.
“PT tidak memberikan kemerdekaan kepada setiap Warga Negara untuk mencalonkan diri sebagai regenerasi kepemimpinan. Itu sudah indikasi kuat bahwa Indonesia menuju Negara Tirani, yang akan mempraktekkan diktatorisme,” lanjutnya.
Selain itu, rejim diktator juga akan menghabisi kelompok-kelompok Oposisi. Menurut Anthony, sudah hampir tidak ada lagi kekuatan oposisi yang menjadi kekuatan penyeimbang dan kontrol terhadap kekuasaan di Indonesia saat ini.
Kemudian lagi, lanjutnya, selain menghancurkan Oposisi, kekuasaan diktator akan menciptakan aksi-aksi propaganda atas nama rakyat. Seperti adanya hasil-hasil survei palsu, yang menyebut masyarakat Indonesia puas dengan kinerja Pemerintah.
“Mereka membuat propaganda palsu dengan menganggung-agungkan keberhasilan rejim, dengan mematikan oposisi. Kemudian, rezim diktator juga sangat mengkultuskan individu. Seperti yang saat ini bisa kita lihat terjadi di Indonesia,” terang Anthony.
Selanjutnya, kata dia lagi, lembaga-lembaga pengawas kekuasaan, seperti legislatif dan yudikatif menjadi mandul. Hukum diputarbalikkan demi mengabdi kepada penguasa.
Beberapa produk regulasi atau perundang-undangan yang sudah bertentangan dengan konstitusi pun sudah semakin tidak bisa dikendalikan.
Anthony menyebut, beberapa regulasi dan perundang-undangan yang secara kasat mata sudah sangat bertentangan dengan UUD 1945, seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang oleh DPR disetujui menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease (Covid-19).
Kemudian, lanjut Anthony lagi, ada Undang-Undang Omnibus Law, Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang KPK dengan darurat KPK, Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN).
“Untuk Undang-Undang IKN, berbentuk Badan Otorita. Itu artinya, tidak ada rakyat di situ. Yang ada Ibu Kota Negara adalah milik penguasa, yaitu Otorita, dan itu Pemerintah Pusat. Rakyat tidak punya hak, dan hanya wajib tunduk serta bayar pajak kepada Otorita. Mirip seperti Badan Otorita Danau Toba, Badan Otorita yang lain-lainnya,” tutur Anthony.
Tak berhenti sampai di situ, Anthony juga menyebut, usulan penundaan pelaksanaan Pemilukada adalah sebagai bentuk diktatorisme. Sebab, rakyat di Daerah diambil alih, dan kinerja Penyelenggara Pemilu seperti KPU dan Bawaslu diambil alih oleh penguasa sendiri.
“Telah banyak sekali regulasi dan Undang-Undang yang sudah menunjukkan diktatorisme. Semua regulasi dan Undang-Undang yang saya sebut itu bertentangan dengan Konstitusi. Ya sangat bertentangan dengan UUD 1945,” ujarnya.
Sementara, dalam diskusi ini, anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) asal Kalimantan Tengah alias Senator Kalteng, Agustin Teras Narang, juga mempertanyakan statement dari Menteri Investasi Indonesia yang merangkap Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia. Yang menyatakan tiga periode untuk Presiden.
“Siapa sih Bahlil itu? Kok mengukur Konstitusi Negara Indonesia hanya dengan urusan ekonomi saja?” ujar Teras Narang.
Mantan Gubernur Kalimantan Tengah dua periode ini menegaskan, Indonesia adalah Negara Hukum. Dan Konstitusi yaitu UUD 1945 itu adalah hukum yang wajib ditaati oleh seluruh elemen masyarakat dan bangsa Indonesia.
“Indonesia adalah Negara Hukum. Kok bisa-bisanya menteri mengobok-obok Konstitusi kita dan kok dia merasa berhak melakukan perubahan konstitusi dengan alasan-alasan ekonomi yang dibuat-buat dia itu?” tanya Teras Narang.
Mantan Ketua Komisi II dan Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PDIP ini menegaskan, seperti halnya Presiden, maka para menteri wajib tunduk, taat dan menjalankan amanat Konstitusi.
“Bukan malah jadi dia yang mengobok-obok konstitusi dong. Ini berbahaya sekali menteri seperti itu. Mereka kan seharusnya melaksanakan mandat rakyat secara patuh seperti yang tertuang di UUD 1945,” lanjut Teras Narang.
Sebagai anggota DPD RI, Teras Narang menyampaikan, pihaknya akan mempercakapkan kondisi ini di internal DPD RI. “Mungkin nanti di dalam rapat DPD akan kita pertanyakan juga,” ujarnya.
Sedangkan politisi PDIP, I Wayan Sudirta mengatakan, di PDIP sendiri wacana mengenai perubahan masa jabatan presiden itu sudah dicap sebagai wacana tidak baik.
“PDIP, dan saya kira partai-partai besar juga sudah menyatakan tidak setuju dengan perpanjangan masa jabatan Presiden itu. Pak Jokowi juga telah menyebut bahwa dirinya tidak setuju dengan tiga periode, tidak setuju dengan perpanjangan masa jabatan Presiden, dan tidak setuju dengan penundaan pelaksanaan Pemilu 2024. Jadi, kita tidak setuju dengan upaya perubahan UUD 1945, apalagi soal masa jabatan Presiden,” tandas I Wayan Sudirta.
Guru Besar Tata Negara Universitas Kristen Indonesia (UKI), Prof Dr John Pieris yang juga sebagai Pembicara dalam diskusi ini menegaskan, Presiden dan para Menteri seharusnya bertugas menjaga dan mengawal pelaksanaan UUD 1945.
“Merekalah yang seharusnya berada di garda terdepan menegakkan Konstitusi dan melaksanakannya,” tutur John Pieris.
Mantan Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) alias Senator asal Maluku ini menegaskan, kelompok-kelompok Relawan Jokowi yang gembar-gembor hendak meminta Presiden kembali mengubah UUD 1945 dengan masa jabatan tiga periode adalah kelompok yang bersengaja melecehkan konstitusi.
“Kasihan sekali mereka. Mungkin hanya karena mendapat sedikit logistik seperti bikin kaos, bikin seminar atau duit untuk konperensi-konperensi pers malah dengan membabibuta mendesak agar tiga periode Presiden. Itu sungguh pelecehan terhadap Konstitusi Indonesia,” ujarnya.
Soal mengubah konstitusi, John Pieris mengingatkan agar tidak semena-mena dan tidak semudah berkoar-koar di media-media. Sebab, ada mekanisme panjang, ada kondisi yang sangat darurat, atau kepentingan jangka panjang Bangsa Indonesia, yang harus dipertimbangkan secara riil dan nyata.
“Mengubah UUD 1945 memang tidak tabu. Namun bukan berarti jadi bisa sewenang-wenang menyatakan mengubah Konstitusi. Mengubah Konstitusi juga harus taat kepada Konstitusi itu sendiri,” jelasnya.
Prof John Pieris menyebut ungkapan salah seorang Tokoh Bangsa Indonesia, dokter Johannes Leimena, yang di era Presiden Soekarno adalah seorang yang taat konstitusi dan tidak mendewakan kekuasaan dalam memimpin Negara.
“Seperti dokter Johannes Leimena pernah menyampaikan, ‘Politik bukan alat kekuasaan, tetapi etika untuk melayani’. Jadi, berpolitik itu juga harus beretika dan melayani rakyat dengan sungguh-sungguh. Itulah yang mesti dikedepankan. Bukan kepentingan sesaat dan kepentingan sesat ya,” tutur Prof John Pieris.
Prof John Pieris juga mengingatkan, Konstitusi adalah juga tatanan untuk menjadikan politik dan demokrasi di Indonesia menjadi sehat dan langgeng.
Karena itu, UUD 1945 perlu dijaga dan dirawat dengan baik. Dan yang paling terdepan menjaga dan merawat UUD 1945 itu adalah Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, Lembaga-Lembaga Negara, Lembaga-Lembaga Pemerintahan, Partai Politik dan seluruh elemen masyarakat Indonesia.
“Dalam pendekatan filsafat hukum, politik dan demokrasi itu harus sehat. Dan dirawat dengan sehat juga. Jangan ada lagi anasir-anasir oligarki sempit atau tirani sempit yang mencoba mengkudeta Konstitusi kita. Kita semua harus menjaga dan merawat konstitusi kita,” tandas Prof John Pieris.*
*
Diduga Sedang Rancang Kudeta, Jokowi dan Seluruh Rakyat Indonesia Diminta Waspadai Luhut Panjaitan Cs
Seluruh Rakyat Indonesia dan juga Presiden Joko Widodo diminta mewaspadai sepak terjang Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Panjaitan dan gengnya.
Sebab, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) di Kabinet Indonesia Maju Jilid II Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin itu diduga sedang merancang terjadinya kudeta militer atau kudeta konstitusi jelang akhir masa jabatan periode kedua Presiden Joko Widodo ini.
Indikasi gerakan kudeta itu terungkap dalam Dialog Kebangsaan Serie 2 bertema ‘Kudeta Konstitusi: Indonesia Menuju Negara Diktator’, yang diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Pusat Partisipasi Kristen Indonesia (DPP PARKINDO) Masa Pelayanan 2021-2026 secara virtual, pada Selasa, 08 Maret 2022.
Akademisi dari Universitas HKBP Nommensen Medan, Dr Budiman NPD Sinaga mengungkapkan, ada sejumlah indikasi yang sudah terpublikasi di berbagai media massa, yang mengarah pada adanya dugaan kudeta konstitusi oleh kekuatan dari lingkaran Istana Negara itu sendiri.
“Seperti yang sudah terpublikasi di sejumlah media massa, ada oknum menteri dan juga oknum partai, serta mahasiswa dan pemuda yang terlihat meng-endorse wacana perubahan UUD 1945 dengan isu masa jabatan Presiden tiga periode, atau wacana perpanjangan masa jabatan Presiden dan juga wacana penundaan Pemilu 2014. Bahkan, secara terang-terangan, mereka itu menyebut bisa mengubah UUD 1945 demi masa jabatan Presiden,” ungkap Dr Budiman NPD Sinaga dalam diskusi itu.
Padahal, lanjut Budiman Sinaga, soal masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden memang wajib dibatasi di UUD 1945. Sebab, hal itu adalah hasil perjuangan reformasi 1998, yang secara sadar adalah sebagai keberhasilan Rakyat Indonesia untuk mengawal dan melakukan pengawasan terhadap penguasaan itu.
“Termasuk supaya Indonesia terlepas dari pengkultusan individu dalam berkuasa,” ujar Dr Budiman NPD Sinaga.
Dalam teorinya, dijelaskan Budiman, kudeta, entah itu kudeta politik, kudeta konstitusi, kudeta militer atau kudeta sipil sekali pun, selalu harus ada kekuatan militer. Kekuatan militerlah yang mampu menggerakkan sebuah kudeta.
Seperti di era Presiden Ke-4, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, menurut Budiman, hal itu adalah kudeta terhadap kekuasaan yang sah.
“Tentunya dengan dukungan kekuatan militer makanya kudeta itu bisa terjadi. Kalau tak ada kepastian dari militer atau tentara, maka bisa saja penggulingan Gus Dur waktu itu gagal,” sebut Budiman Sinaga.
Hadir sebagai pembicara dalam dialog ini yakni Prof Dr John Pieris, Guru Besar Tata Negara Universitas Kristen Indonesia (UKI), Dr Budiman NPD Sinaga, Akademisi Universitas Nommensen Medan, dan Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy And Policy Studies (PEPS), Presidium Poros Peduli Indonesia (Populis), dengan moderator Ketua Bidang Politik DPP PARKINDO, Charles D Sirait.
Dialog ini juga diikuti oleh Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) asal Kalimantan Tengah atau Senator, Agustin Teras Narang, Tokoh Kristen Prof Albertus Patty, Politisi Senior Bursah Zarnubi, Politisi PDIP I Wayan Sudirta, Dewan Pembina DPP PARKINDO Dr Lintong Manurung, Ketua Umum DPP PARKINDO Lukman Doloksaribu, Sekjen DPP PARKINDO Besli Pangaribuan, para pengurus DPP PARKINDO, aktivis mahasiswa lintas kampus, aktivis kepemudaan lintas organisasi, para akademisi, politisi, dan lain-lain.
Saat ini, salah seorang yang paling berkuasa di kabinetnya Jokowi-Ma’aruf Amin adalah Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Panjaitan. Menko Marves itu tidak sendirian, dia memiliki geng atau kawan-kawannya di kabinet, partai politik, dan juga kaki tangan di masyarakat sipil.
Luhut Binsar Panjaitan secara politik adalah pengurus Partai Golkar, yakni sebagai Ketua Dewan Penasehat partai berlambang beringin itu.
Entah sebuah kebetulan atau memang sudah sebuah desain, Ketua Umum Partai Golkar saat ini adalah Airlangga Hartarto, yang juga sebagai Menteri Koordinator Perekonomian. Airlangga sendiri yang menunjuk Luhut Binsar Panjaitan sebagai Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar.
Sedangkan Luhut sendiri, sebelum menjadi Menko Marves, adalah menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia (Menkopolhukam) di era Presiden Jokowi tahun2015-2016.
Dr Budiman NPD Sinaga menyampaikan, dengan pendekatan Teori Negara, kudeta bisa berlangsung dengan kekuatan militer.
“Apakah ada hubungan-hubungan itu? Dari Teori Negara hal itu bisa terjadi, dengan kudeta militer,” ujar Budiman.
Luhut Binsar Panjaitan sendiri dikenal akrab dengan sejumlah veteran Panglima TNI. Hingga saat ini, Luhut juga menjaga hubungan baik dengan para jenderal. Selain itu, belum lama ini, penunjukan Panglima TNI dan juga Panglima Kostrad tidak terlepas dari campur tangan Luhut.
Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen Maruli Simanjuntak adalah menantu dari Luhut.
Sedangkan Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa adalah menantu dari mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Jenderal TNI (Purn) AM Hendropriyono. Keduanya juga sebagai ‘orang-orang Istana’, yang dekat dengan Luhut.
Sedangkan di level mahasiswa dan kepemudaan, ada kaki tangan Luhut Binsar Panjaitan, yaitu Koalisi Bersama Rakyat (Kobar).
Kobar adalah relawan dadakan yang dibentuk untuk menghembuskan wacana dan mendorong masa jabatan tiga periode.
Salah seorang deklaratornya Sahat Martin Philip Sinurat, sering kali mengklaim dirinya sebagai ‘orang dekat’ Luhut Binsar Panjaitan. Petualang politik ini getol mewacanakan masa jabatan Presiden Tiga Periode, dengan berbagai deklarasi-deklarasi, yang diduga dibiayai oleh Luhut Binsar Panjaitan.
Sementara Luhut Binsar Panjaitan bersama Airlangga Hartarto dan Bahlil Lahadalia adalah sama-sama di dalam kabinet. Ketiganya saling berkoordinasi dengan sejumlah oknum partai politik juga untuk menghembuskan perpanjangan masa jabatan Presiden dan atau menunda pelaksanaan Pemilu 2024.
Ketiganya juga dianggap sebagai pemain dan tulang punggung sejumlah kebijakan sektor perekonomian di Indonesia, terutama untuk masa pandemi Covid-19. Mereka juga sebagai motor utama dalam suksesi sejumlah Undang-Undang yang bertentangan dengan konstitusi seperti UU Minerba, UU Ibu Kota Negara (IKN), UU Omnibus Law atau UU Ciptaker, proyek-proyek tambang dan infrastruktur, serta berbagai regulasi lainnya yang bertentangan dengan UUD 1945.
“Praktek kartel politik seperti itu sedang berjalan. Dan itu semua akan bisa terjadi kudeta dengan dukungan militer,” ujar Budiman.
Dr Budiman NPD Sinaga mengingatkan, saat ini Indonesia menganut Demokrasi, dengan bentuk Negara Republik.
Perlu diketahui, lanjutnya, ada perbedaan mendasar antara demokrasi dengan republik. Demokrasi adalah sistem usang yang merampas hak-hak konstitusional rakyat.
Sebab, demokrasi adalah penyerahan kekuasaan rakyat untuk dijalankan oleh lembaga-lembaga Negara. Dan secara eksekutif dikuasai oleh Presiden dan para kabinetnya.
Sedangkan republik, terang Budiman, rakyat memiliki kekuasaan, dan petugas Negara harus tunduk kepada rakyat itu sendiri.
“Jadi, sepertinya demokrasi kita sedang dibajak. Seharusnya republik. Sebab dengan republik, rakyat itu sendiri yang memerintah, dengan cara pelaksana kekuasaan wajib taat dan tunduk kepada rakyat yang memberikan kekuasaannya untuk dilaksanakan,” tutur Budiman lagi.
Dengan mengikuti sejarah kudeta, lanjut Budiman, tergambar jelas beberapa metode atau cara yang dilakukan. Bisa lewat konstitusi, bisa lewat politik.
“Ada juga dengan metode konvensi. Dan semua itu dianggap legal. Namun biasanya mereka memastikan bahwa kekuatan militer dan kekuatan ekonomi ada di tangan mereka. Apalagi saat ini adalah periode terakhir Pak Jokowi sebagai Presiden, menurut Konstitusi yang sah,” jelasnya lagi.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) asal Kalimantan Tengah alias Senator Kalteng, Agustin Teras Narang, juga mempertanyakan statement dari Menteri Investasi Indonesia yang merangkap Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia. Yang menyatakan tiga periode untuk Presiden.
“Siapa sih Bahlil itu? Kok mengukur Konstitusi Negara Indonesia hanya dengan urusan ekonomi saja?” ujar Teras Narang.
Mantan Gubernur Kalimantan Tengah dua periode ini menegaskan, Indonesia adalah Negara Hukum. Dan Konstitusi yaitu UUD 1945 itu adalah hukum yang wajib ditaati oleh seluruh elemen masyarakat dan bangsa Indonesia.
“Indonesia adalah Negara Hukum. Kok bisa-bisanya menteri mengobok-obok Konstitusi kita dan kok dia merasa berhak melakukan perubahan konstitusi dengan alasan-alasan ekonomi yang dibuat-buat dia itu?” tanya Teras Narang.
Mantan Ketua Komisi II dan Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PDIP ini menegaskan, seperti halnya Presiden, maka para menteri wajib tunduk, taat dan menjalankan amanat Konstitusi.
“Bukan malah jadi dia yang mengobok-obok konstitusi dong. Ini berbahaya sekali menteri seperti itu. Mereka kan seharusnya melaksanakan mandat rakyat secara patuh seperti yang tertuang di UUD 1945,” lanjut Teras Narang.
Teras Narang mengingatkan, kekuasaan itu biasanya akan melakukan empat hal dalam melanggengkannya.
“Pertama seseorang yang sedang berkuasa akan berupaya mempertahankan kekuasaannya itu. Kedua, seseorang yang berkuasa akan memperbesar dan memperluas kekuasaannya. Ketiga, akan berkeinginan berkuasa lagi. Keempat, seorang penguasa akan mempergunakan kekuasaannya itu, memanfaatkannya lewat alat-alat kekuasaan dan berbagai cara lainnya,” tutur Teras Narang.
Narang juga menyampaikan, saat ini pola pembagian kekuasaan ke Daerah telah kembali dikebiri. Sebab, Otonomi Daerah atau Desentralisasi itu sudah tidak berjalan.
“Seperti di Undang-Undang Minerba itu, yang tadinya diserahkan ke Daerah, sekarang ditarik kembali ke Pusat. Apakah Pusat tidak percaya dengan Kepala-Kepala Daerah itu? Kepala-Kepala Daerah kan Pemimpin di Daerah yang dipilih secara langsung dan demokratis juga oleh Rakyat di Daerah,” tutur Teras Narang.
Oleh karena itu, Tokoh Masyarakat Dayak ini mengusulkan agar dilakukan evaluasi terhadap Gerakan Reformasi yang digulirkan pada 1998 itu. Sebab, desentralisasi juga adalahs alah satu hasil dari gerakan reformasi itu.
“Kita perlu melakukan evaluasi terhadap Reformasi. Untuk melihat mana yang perlu diperkuat, mana yang perlu dipertahankan, dan mana yang perlu diperbaiki,” ujarnya.
Untuk dugaan kudeta konstitusi dengan alasan masa jabatan Presiden, Teras Narang menyebut, sejauh ini di Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), belum ada pembahasan atau usulan untuk membahas perubahan UUD 1945, terutama dalam urusan masa jabatan Presiden.
“Yang ada, beberapa kawan sesama anggota DPD, bisik-bisik di luar, mengenai masa jabatan Presiden ini. Dan yang saya tangkap, teman-teman itu tidak setuju dengan perubahan masa jabatan atau pun perpanjangan masa jabatan Presiden itu,” tutur Teras Narang.
Mantan Gubernur Kalimantan Tengah dua periode ini menyebut, dalam melakukan perubahan UUD 1945, ada mekanisme panjang yang harus diikuti. Setiap anggota DPR bersama anggota DPD untuk MPR, juga dihitung dalam pengusulan perubahan UUD 1945.
“Itu pun belum tentu usulan akan disetujui untuk melakukan pembahasan. Mesti jelas data, fakta dan juga prosesnya. Nah, kami di DPD belum ada membahas soal itu. Mungkin nanti dalam rapat DPD akan coba ditanyakan,” tutur Teras Narang.
Mantan Ketua Komisi II dan Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PDIP ini juga menyatakan tidak setuju agar usulan perubahan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden itu dibahas di DPD dan MPR.
“Sebab, sejauh ini tidak ada usulan, dan tidak ada kondisi yang memaksa agar itu dibahas. Situasi Indonesia aman-aman saja. Masih dalam kendali yang normal. Kita memang harus taat dan tunduk kepada konstitusi kita yakni UUD 1945,” ujar Teras Narang.
Teras Narang menyampaikan, pihaknya akan mempercakapkan kondisi ini di internal DPD RI. “Mungkin nanti di dalam rapat DPD akan kita pertanyakan juga,” ujarnya.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Kristen Indonesia (UKI), Prof Dr John Pieris menyampaikan, usulan-usulan yang diduga telah mencederai konstitusi, seperti adanya upaya oleh segelintir oknum di partai politik dan relawan Jokowi yang mendesak-desak agar Presiden Jokowidodo melanggar konstitusi dengan masa jabatan tiga periode, atau memperpanjang masa jabatan, adalah bentuk pembangkangan terhadap konstitusi yang sah.
Apalagi, katanya, jika wacana itu hanya dikarenakan kepentingan sempit oleh para oknum itu, maka mereka layak mendapatkan sanksi atas dugaan pelanggaran konstitusi tersebut.
“Mereka bisa dikenakan sanksi. Walau pun sanksinya bukan lewat proses yudisial atau peradilan, tetapi sanksi sosial dan sanksi politik dari masyarakat sangat nyata,” lanjut Prof John Pieris.
Prof John Pieris menegaskan, mengenai masa jabatan Presiden telah dengan tegas dan jelas diatur pada Pasal 7 Undang Undang Dasar 1945 tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Bunyinya, ‘Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.’
Kemudian, Prof John Pieris juga mengulas Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Mengandung pengertian bahwa segala tatanan kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara adalah didasarkan atas hukum.
“Oleh karena itu, sangat tegas dinyatakan bahwa Negara Hukum itu harus ditaati. Indonesia adalah Negara Hukum, bukan berdasarkan kekuasaan. Sebab, jika segala sesuatu didasarkan pada kepentingan politik, apalagi politik kepentingan sesaat, maka itu namanya Negara Kekuasaan. Padahal, Indonesia adalah Negara Hukum. Dan Indonesia sepakat, kita semua harus taat dan tunduk pada hukum itu. Kita semua, termasuk Presiden wajib tunduk dan taat kepada UUD 1945,” terang Prof John Pieris.
Prof John Pieris juga tidak menafikan bahwa UUD 1945 bisa diamandemen atau diubah. Tetapi, tegasnya, persyaratan dan kondisi maupun faktor-faktor untuk mengubah konstitusi itu tidak mudah.
Bahkan, katanya, jika pun di Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 menyebut ‘Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang’, itu pun bukan berarti Presiden dengan mudahnya mengeluarkan Perpu.
“Syaratnya sangat berat, rumit dan sangat tidak mudah. Perpu pun harus taat kepada konstitusi. Harus menurut UUD 1945. Tidak boleh hanya karena desakan sekelompok kepentingan belaka, tidak boleh hanya karena keinginan-keinginan sepihak belaka. Atau, tidak boleh juga hanya karena keinginan parpol saja. Jadi UUD 1945 itu wajib hukumnya untuk ditaati dan dipatuhi,” terang John Pieris.
Bagi Prof John Pieris, pihak-pihak yang sedang berupaya mengutak-atik UUD 1945 saat ini, adalah pelecehan terhadap Bangsa dan Negara Republik Indonesia.
“Itu sama saja juga melecehkan para Reformator Indonesia, mencederai hasil-hasil perjuangan Reformasi. Yang menginginkan waktu itu, agar masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dibatasi. Agar seluruh rakyat bisa mengawasi dan mengawal kinerja kekuasaan,” tuturnya.
Karena itulah, Prof John Pieris menyebut, kelompok-kelompok Relawan Jokowi yang gembar-gembor hendak meminta Presiden kembali mengubah UUD 1945 dengan masa jabatan tiga periode adalah kelompok yang bersengaja melecehkan konstitusi.
“Kasihan sekali mereka. Mungkin hanya karena mendapat sedikit logistik seperti bikin kaos, bikin seminar atau duit untuk konperensi-konperensi pers malah dengan membabibuta mendesak agar tiga periode Presiden. Itu sungguh pelecehan terhadap Konstitusi Indonesia,” ujarnya.
Soal mengubah konstitusi, John Pieris mengingatkan agar tidak semena-mena dan tidak semudah berkoar-koar di media-media. Sebab, ada mekanisme panjang, ada kondisi yang sangat darurat, atau kepentingan jangka panjang Bangsa Indonesia, yang harus dipertimbangkan secara riil dan nyata.
“Mengubah UUD 1945 memang tidak tabu. Namun bukan berarti jadi bisa sewenang-wenang menyatakan mengubah Konstitusi. Mengubah Konstitusi juga harus taat kepada Konstitusi itu sendiri,” jelasnya.
Prof John Pieris menyebut ungkapan salah seorang Tokoh Bangsa Indonesia, dokter Johannes Leimena, yang di era Presiden Soekarno adalah seorang yang taat konstitusi dan tidak mendewakan kekuasaan dalam memimpin Negara.
“Seperti dokter Johannes Leimena pernah menyampaikan, ‘Politik bukan alat kekuasaan, tetapi etika untuk melayani’. Jadi, berpolitik itu juga harus beretika dan melayani rakyat dengan sungguh-sungguh. Itulah yang mesti dikedepankan. Bukan kepentingan sesaat dan kepentingan sesat ya,” tutur Prof John Pieris.*