T3lusur-Jakarta-Penetapan KKB menjadi kelompok teroris akan berdampak dengan masyarakat sipil. Jadi, dampak yang ditimbulkan bisa berupa dampak sosial politik bagi masyarakat Papua yang adalah bagian dari NKRI, dampak hukum karena ada Pasal 13 A UU Terorisme yang merupakan delik formil yang bisa berlaku untuk “simpatisan” atau masyarakat sipil yang berhubungan dengan KKB Papua. Dan dampak selanjutnya adalah operasi militer yang bisa membahayakan keselamatan masyarakat sipil di Papua, terang Fedrik Pinakunary Ketua Umum Perhimpunan Profesi Hukum Kristiani Indonesia (PPHKI) mengatakan bahwa pada tanggal 25 April 2021 Kabinda Papua Brigjen TNI Putu IGP Dani NK meninggal dunia dalam kontak baku tembak dengan kelompok bersenjata di Kampung Dambet, Distrik Beoga, Kabupaten Puncak.
Selanjutnya, pada tanggal 29 April 2021 Pemerintah menetapkan KKB Papua sebagai oragnisasi teroris dengan dasar bahwa KKB tersebut telah melakukan pembunuhan dan kekerasan secara masif. Menurut Menkopolhukam, alasan itu sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Ketua MPR, Bambang Soesatyo. Artinya, hanya 4 hari setelah Kabinda Papua ditembak, KKB Papua ditetapkan sebagai organisasi teroris. Kami menghormati apa yang sudah menjadi keputusan pemerintah, namun di balik itu kami melihat bahwa keputusan itu sepertinya diambil dengan tergesa-gesa dan terkesan sangat reaktif akibat dari tertembaknya Kabinda Papua tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa ide penetapan KKB Papua sebagai organisasi teroris pada awalnya diwacanakan oleh KBNPT di DPR beberapa waktu yang lalu. Dan hal ini langsung dijadikan sebagai penetapan resmi pemerintah dalam waktu empat hari setelah Kabinda Papua tertembak. Jadi, kesan tergesa-gesa dan reaktif terasa dalam penetapan pemerintah tersebut. Sangat patut diduga bahwa penetapan tersebut dipicu oleh tertembaknya Kabinda Papua tersebut.
Sebagai anak bangsa, kami sangat berduka dengan meninggalnya Kabinda Papua dan berharap Tuhan memberi kekuatan dan penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan, namun kami berharap keputusan pemerintah tersebut bukan semata-mata sikap reaktif atas tertembaknya Kabinda Papua tersebut.
Sang Kabinda Papua tidak akan hidup kembali setelah KKB Papua ditetapkan sebagai organisasi teroris. Kami sangat kehilangan atas “kepergian” bapak Kabinda Papua, tapi kami berharap pemerintah tetap berhikmat, objektif dan tepat dalam mengambil kebijakan apapun, termasuk memberikan status organisasi teroris kepada KKB Papua. Kami berharap di waktu yang akan datang tidak ada korban jiwa lagi yang terjadi di Papua karena pertikaian antara KKB Papua dengan TNI-Polri.
Ketika ditanyakan dasar hukum tentang penetapan KKB di cap Teroris, Fedrik yang juga praktisi hukum jebolan fakultas hukum Unair menjelaskan bahwa penetapan pemerintah tersebut didasarkan pada UU No. 5 Tahun 2018 (UU Terorisme) karena menurut pemerintah, segala tindakan kekerasan KKB Papua telah memenuhi unsur-unsur gerakan teror sebagaimana diatur dalam UU tersebut.
Tentu saja lanjut pengacara yang dekat dengan para jurnalis ini dampak bagi rakyat Papua atas keputusan Menkopolhukam ada resiko bagi masyarakat sipil Papua, termasuk anak-anak yang berpotensi terkena dampak berupa ancaman keselamatan akibat dari operasi penumpasan KKB Papua yang telah ditetapkan sebagai organisasi teroris.
Masih teringat jelas ketika konflik Nduga pada tahun 2018-2019, ada ratusan anak yang berlari untuk menyelamat diri akibat pertempuran TNI-Polri dengan KKB Papua. Anak-anak tersebut berjalan kaki menembus hutan belantara selama berhari-hari ke kota-kota lain di sekitar Nduga.
“Saya sendiri pernah mengunjungi dan bertemu langsung dengan sekitar 500 anak dari Nduga yang menyelamatkan diri dengan berjalan sekitar 1 minggu ke Wamena di awal tahun 2019. Saya menemui mereka di lokasi pengungsian di halaman Gereja Kingmi, Weneroma, Wamena dan kemudian mencari bantuan dari rekan-rekan Advokat di Jakarta kepada anak-anak tersebut”, ujarnya mengenang kembali.
Jadi, dampak yang ditimbulkan bisa berupa dampak sosial politik bagi masyarakat Papua yang adalah bagian dari NKRI, dampak hukum karena ada Pasal 13 A UU Terorisme yang merupakan delik formil yang bisa berlaku untuk “simpatisan” atau masyarakat sipil yang berhubungan dengan KKB Papua. Dan dampak selanjutnya adalah operasi militer yang bisa membahayakan keselamatan masyarakat sipil di Papua.
Untuk itu Fedrik yang lahir dan besar di Papua sebagai ketua Umum PPKHI beharap kepada pemerintah agar pemerintah membuka ruang dialog dengan tokoh agama, tokoh adat dan juga tokoh KKB Papua, sama seperti dulu ketika pemerintah membuka dialog dengan para pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Dialog tersebut telah menghasilkan kesepakatan yang kemudian ditindaklanjuti dengan Qanun Aceh No. 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. Alhasil, Aceh sekarang damai, tak terdengar lagi berita baku tembak antara TNI Polri Melawan GAM seperti dulu, sebelum kesepakatan antara Pemerintah RI dan GAM tercapai di Helsinski, pada Agustus 2005 tercapai.
Apabila Pemerintah RI melakukan dialog sebagaimana dimaksud dan mencapai kesepakatan, maka kami optimis bahwa suasana damai di Papua akan tercipta. Tanpa adanya dialog dan kesepakatan yang dicapai, wilayah Papua akan selalu “panas” karena KKB Papua akan terus melancarkan aksi-aksi bersenjata yang merenggut nyawa manusia di Papua.
“Saya juga berharap pemerintah secara rutin melakukan monitor dan evaluasi terhadap tindakan TNI-Polri setelah KKB Papua ditetapkan menjadi organisasi teroris. Saya sangat berharap agar di waktu-waktu yang akan datang tidak ada masyarakat sipil yang menjadi korban karena adanya “pertempuran” antara TNI-Polri dan KKB Papua”, tandasnya serius.
Dan semoga pemerintah berhati-hati dalam menerapkan Pasal 13A UU Terorisme agar tidak menambah runyam situasi di Papua, hal mana berpotensi untuk “mematikan” ide atau semangat dialog yang diharapkan sanggup menyelesaikan persoalan keamanan di Papua. JP