Otsus Membawa Kesejahteraan Papua Harus Dibarengi Pembangunan yang Masiv

Terkini
Bagikan:

T3lusur-Jakarta-Otonomi Khusus Pulau Papua sudah berjalan 20 tahun sejak tahun 2001, sehingga perlu ada kajian untuk melihat dampak atau hasilnya bagi masyarakat Pulau Papua. Saat ini sedang berproses perpanjangan otonomi khusus (otsus) Papua dan Papua Barat untuk 20 tahun ke depan atau hingga 2041.

Dalam paparanya, Budi Arie Setiadi menjelsakan bahwa dana Otsus yang kini terbagi menurut Dana Otsus dan Dana Tambahan Infrastruktur meningkat sepanjang tahun. Dana 2020 hampir 2 kali lipat dari tahun 2013. Peningkatan lebih tinggi pada dana tambahan infrastruktur. Peningkatan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik lebih tinggi daripada DAK Non Fisik.

Budi menyampaikan bahwa perhatian pemerintah pusat terhadap Papua sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan melalui tingginya dana transfer ke Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Peningkatan terbesar ada pada dana Desa yang mencakup 10% dari keseluruhan dana transfer ke Papua, bahkan 81% dari dana Otsus.

Untuk menyelenggarakan pembangunan di Pulau Papua tidak mudah, menurut Anton Tarigan, karena keragaman suku, budaya dan wilayah. Orang luar Pulau Papua, mungkin melihat bahwa semua Papua sama saja, padahal tidak demikian. Untuk pembagian wilayah saja, perlu dilakukan berdasarkan pembagian budaya. Dengan demikian, untuk melihat pembangunan di Papua, harus ada di Pulau Papua, tanpa terlibat di dalam pembanguan Papua, maka akan sulit melihatnya.

Mandat dari UU Otsus, menurut Anton, yang paling inti adalah Pendidikan, Kesehatan dan Ekonomi. Ini menjadi indikator awal untuk menilai, apakah Otsus sudah berjalan dengan baik atau tidak? Kemudian, Apakah sudah ada evaluasi yang dilakukan secara comprehensive? Sehingga ada basis data yang bisa dipakai dalam membuat keputusan-keputusan terkait Otsus.

BACA  PD PEWARNA DIY Audensi Dengan Danrem 072 Pamungkas

Lebih lanjut, Anton juga mempertanyakan terkait dalam mengambil keputusan oleh pemeritah. Apakah dalam mengambil keputusan, sudah dilakukan secara komprehensif dengan sedemikian rupa? Proses pengambilan keputusan bisa melalui bottom-up dan bisa secara top down atau dilakukan dengan kedua-duanya.

Dalam mengambil keputusan, menurut Anton, harus melibatkan dari semua pihak, misalnya gereja, pemuda, tokoh perempuan yang memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan di Pulau Papua. Dengan demikian keputusan tidak prematur dan bisa sesuai dengan kebuthan masyarakat.

Jika dana Otsus tidak ada, bagaimana Pemprov memenuhi anggaran Pembangunan? Lanjut Anton, mempertanyakan. Wilayah Pulau Papua itu luas sekali, sehingga biaya pembangunannya berbiaya tinggi. Untuk mengelola biaya pembanguna bisa mencapai 2 samapi 3 kali lipat jika dibandingka di wilayah Indonesia Barat. Untuk biaya transportasi sangat tingga, karena beberapa wilayah harus dijangkau dengan transportasi udara.

Lebih lanjut disampaikan bahwa Papua masih membutuhkan pembangunan yang massive di hampir semua bidang. Hingga saat ini Dana Otsus berkontribusi lebih dari 50% bagi APBD Provinsi.

Anton menyodorkan dua pertanyaan, yaitu jikalau setuju dengan Otsus, maka bagaimana mengelola dana Otsus dengan lebih baik, sehingga menjawab persoalan utama yang dibutuhkan orang Papua? Jikalau tidak setuju dengan Otsus, bagaimana memenuhi anggaran pembangunan, tanpa mengorbankan prioritas pembangunan? Tidak bisa dipungkiri bahwa kontribusi dana Otsus sangat besar untuk Pulau Papua, kata Anton.

Mamberob Yosephus Rumakiek, Anggota DPD RI dari Papua Barat, menyampaikan bahwa sering dalam diskusi-diskusi atau rapat, bahkan dalam rapat pemerintah, sering melupakan Papua Barat, yang selalu sering disebut adalah Papua. Padahal Pulau Papua ada dua provinsi, yaitu Papua dan Papua Barat.

Mamberob menjelaskan, bahwa tidak banyak kewenangan yang diberikan kepada DPD untuk mengawasi dana Otsus di Papua maupun Papua Barat, karena terkait dana Otsus, disendirikan di dalam undang-undang yang ada lainya.

BACA  BENNY SUSETYO: FKUB JAGA NETRALITAS DEMI KERUKUNAN BANGSA

Perlu ada sinergi, kata Mamberob, antara lembaga negara, baik pemerintahan daerah dengan pemerintahan pusat dalam menjalankan dan mendukun pemabnguan di Papua melalui Otsus. Perlu ada transparansi anggaran pembangunan di Papua, karena dana pembangunan bukan hanya dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Indonesia. Masih ada dari lembaga kementerian lainnya terkait dana Otsus, misalnya dana Otsus dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan untuk membangun Papua.

Kadang-kadang Pemerintah Papua dan Papua Barat, terbentur dengan kewenangan Undang-Undang, papar Mamberob. Saat melaksanakan tugas amanat Undang-undang Otsus, namun ada kewenangan lain yang bisa menabrak kewenangan Undang-undang Otsus. Dengan demikian, kepala daerah memiliki kewenangan yang terbatas tidak bisa menjangkau seluruh amanat yang ada di dalam UU Otsus. Saat pemerintah daerah mau menerapkan UU Otsus, pemerintah pusat, misalnya bisa menggunakan UU Pemda untuk mengesampingkan UU Otsus. Mamberob mengatakan, “kita heran, mengapa UU Khusus bisa digeser oleh UU lain?”.

Mamberob menyampaikan bahwa pembagian 7 wilayah ada di Papua tidak terjadi. Masih ada protes dari masyarakat adat. Lembaga dan masyarakat Adat masih di abaikan. Padahal Papua mempunyai ciri yang berbeda di masing-masing wilayah adat. Tidak bisa menyamaratakan seperti daerah lainnya.

Ada dua kelompok terkait Otsus di tengah masyarakat, menurut Mamberob, yaitu ada yang pro yang menganggap bahwa Otsus masih dibutuhkan, yang kontra, menganggap bahwa Otsus tidak berdampak kepada masyarakat. Perbedaan antara yang Pro dan Kontra terkait Otsus ini, tidak memicu konflik, karena masyarakat sangat membutuhkan kedamaian. Pembangunan dengan pendekatan keamanan harus dikurangi dan tidak ada kecurigaan-kecurigaan kepada Orang Papu. Demikian juga, tensi kekerasan di Papua harus dikurangin.

Dalam webinar ini, hadir juga para penanggap, yaitu Dr. Herry Saragih, Sekjend Senkrisindo dan Dwi Urip Premono, Penulis Buku Papua dan  Direktur Pusat Kajian dan Pelatihan Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya. Moderator webinar adalah Ashiong P. Munthe, Litbang Pengurus Pusat Pewarna Indonesia. Dengan moderator Ashiong Munthe bagian litbang Pewarna yang juga aktif menulis di majalah Gaharu ini.

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *