Jakarta, t3lusur.com-Kedudukan PK sebagai salah satu upaya penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Air kemudian dikupas dalam sebuah webinar (seminar daring) bertajuk “Diskusi Buku Hukum: Satu Tahun Peluncuran Buku Politik Hukum PK & Perlindungan HAM di Indonesia, Pendapat Ahli Sebagai Novum”, karya dari Dr. Stefanus Roy Rening, SH., MH.
Webinar yang digagas oleh PEWARNA Indonesia bekerja sama dengan Kasimo Institute, DPC-PMKRI Makassar, serta Kantor Hukum RR & Partners ini menghadirkan enam pembicara. Selain Roy Rering, diskusi turut dihadiri oleh mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar, SH., MH; Ketua Umum PERADI-RBA, Dr. Luhut. M. P. Pangaribuan, SH., L.LM; Dekan Fakultas Hukum UNIKA Atma Jaya Makassar, Dr. Anton Sudirman, SH., M.Hum; Mantan Ketua PBHI, Dr. Syamsudin Rajab, SH., MH; serta politisi yang juga merupakan praktisi hukum, Hermawi. F. Taslim, SH.
Selain sejumlah pembicara, testimoni terkait penegakan hukum juga diberikan oleh mantan pilot Garuda Indonesia, Polly Carpus; serta Robert Tibo yang merupakan putra dari terpidana mati kasus kerusuhan Poso, Fabianus Tibo.
Humto Marbun yang didaulat sebagai moderator webinar membuka diskusi dengan memberikan kesempatan kepada Roy Rening selaku penulis buku untuk menyampaikan pandangannya. Buku tersebut merupakan naskah Disertasi yang dirampungkannya saat mengikuti program Doktor Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.
“Mengapa buku ini perlu didiskusikan? Sebagai peneliti yang meneliti tentang kasus-kasus PK, memang saya mendapati buku tentang PK ini sangat sedikit di toko-toko buku maupun perpustakaan. Hampir hanya dua atau tiga orang saja yang menulis tentang itu,” ungkap Roy membuka diskusi.
Ada banyak dorongan mengapa Roy kemudian membukukan disertasinya. Salah satunya, dirinya beringinan agar buah penelitiannya tersebut mampu memperkaya cakrawala mahasiswa dan penegak hukum, khususnya seputar Pendapat Ahli Sebagai Novum pada upaya PK yang diajukan oleh para pencari keadilan.
“Sehingga semang diharapkan buku ini dapat memperkaya wawasan hukum bagi mahasiswa hukum, lalu yang kedua untuk masyarakat dan para penegak hukum yang memang betul-betul mau memperjuangkan keadilan,” harapnya.
Lebih lanjut disampaikan Roy, melalui buku itu dirinya menyoroti tidak kurang dari lima kasus besar yang terjadi baik di Indonesia maupun Negeri Belanda. Mulai dari kasus yang menjerat Antasari Azhar, Polly Carpus, Tibo, maupun kasus Joko Tjandra yang saat ini tengah hangat.
“Dan diharapkan memang masyarakat kalau membaca buku ini, mahasiswa membaca buku ini, menjadi sebuah masukan dalam kerangka yang pertama tentang pemahaman hukum, lalu yang kedua buku ini dapat memberikan masukan bagi politik hukum ke depan agar terjadi yang namanya sinkronisasi hukum di bidang PK,” urainya.
Sinkronisasi yang dimaksud, lanjut Roy, adalah keberadaan dari 3 Undang-Undang yang mengatur tentang PK. Menurutnya hal tersebut sangatlah krusial bagi masyarakat yang sedang berjuang untuk memperoleh keadilan.
“Karena ada tiga Undang-Undang yang mengatur tentang PK sekarang ini. Satu, KUHAP, yang Kedua Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung. Tiga Undang-Undang ini semacam ada multi interpretasi, yang sehingga membuat masyarakat sulit sekali dalam memperoleh keadilan,” sorotnya.
Sementara itu mantan Jaksa serta Ketua KPK, Antasari Azhar, membuka pemaparan dengan mengungkap banyaknya persoalan teknis terkait KUHAP dan PK. Antasari lalu menjelaskan tentang persidangan yang pernah dijalaninya di tahun 2009, atas tuduhan Direktur PT. Rajawali Putra Banjaran. Pada waktu itu dakwaan Penuntut Umum, menurut Antasari, mengatakan bahwa dirinya selaku terdakwa menghendaki kematian korban.
“Saya (terdakwa) dibilang mengancam korban, dan seterusnya. Sementara di BAP (Berita Acara Pemeriksaan) tidak pernah diperiksa tentang itu. Pertanyaan saya adalah, ‘Apakah dakwaan tanpa dasar BAP bisa diterima?’,” tanya Antasari.
Antasari lalu mengerucut kepada pembahasan ketika dirinya harus menjalani proses hukum hingga ke tingkat PK. Dirinya lalu menjelaskan terkait siapakah pihak yang berhak mengajukan PK. Menurutnya pihak yang berhak untuk mengajukan PK adalah terpidana, bukan Jaksa.
“Yang berhak mengajukan PK adalah terpidana. Siapa sih terpidana itu? Menurut kaca mata saya selaku penegak hukum, terpidana itu adalah mereka yang diputus di Pengadilan kemudian dieksekusi di Lembaga Pemasyarakatan. Itu baru terpidana. Sebagai terhukum saja dieksekusi, itu belum bisa dikatakan (sebagai) terpidana),” urai Antasari.
Pandangan terkait PK juga kembali didalami oleh Dr. Luhut Pangaribuan. Luhut mengawalinya dengan memberi apresiasi kepada Roy Rening, karena dinilai telah sukses memberikan sebuah sumbangsih pemikiran, literatur, bagi dunia Hukum Acara Pidana di Indonesia.
Luhut mengungkap bahwa Hukum Acara Pidana di Indonesia atau SPP (Sistem Peradilan Pidana) sudah mendesak untuk diperbaharui.
“Tadi Pak Antasari sudah mengatakan, ‘Bagaimana Jaksa kok bisa PK?’ Kan tidak ada yang mengatur itu,” kata Luhut.
Luhut lalu menjelaskan bahwa PK yang diajukan oleh Jaksa sesungguhnya merupakan sebuah semangat untuk menghukum melalui jalan keluar (PK).
Menurut Luhut, langkah yang ditempuh Jaksa dalam mengajukan PK terhadap suatu perkara sudah dikategorikan ‘Loncat Pagar’. Yang turut disayangkan olehnya, perilaku ‘Loncat Pagar’ tersebut berawal dari langkah PK yang dilakukan oleh salah seorang Jaksa di Sumatera Utara, yang kemudian diikuti oleh Jaksa lainnya di Indonesia.
“Kalau kita bicara mengenai secara konsisten itu (sudah) ‘Loncat Pagar’, karena PK itu diberikan kepada terpidana dan ahli warisnya. Sementara upaya hukum luar biasa kepada Jaksa itu adalah kasasi demi kepentingan hukum,” tegas Luhut.