Jakarta, t3lusur.com- Inilah yang disebut dengan perang proxy di tengah kasus Covid 19 menghantui publik +62 saat ini. Mesti ada pihak yang disalahkan dari pandemi ini, kalau bukan azab, pasti dari mamarika (AS) atau mamayudi (Yahudi).
Pada awal Covid 19 merebak di Wuhan, dituduhkan akibat China mengenosida orang-orang di Uighur. Sekarang narasinya lain lagi, ini adalah rentetan perang dagang antara AS dan Tiongkok. Sebelumnya, berkembang isu kebocoran fasilitas persenjataan kimia di Wuhan, nanti entah apalagi.
Dalam semua argumen asal dan musabab Covid 19 itu, masih sedikit argumen yang disodorkan tentang WHO yang getol betul mendikte Indonesia untuk segera menyatakan bahwa negeri ini terkena pandemi Covid 19.
Di tengah desakan WHO, para avonturir politik segera saja melahap isu ini, seolah ingin terdepan paling tahu soal Covid 19, dengan hadirnya seorang gubernur, -you knowlah what i mean- yang menyampaikan jumlah dan sebarannya di beberapa lokasi, meski Presiden belum resmi mengumumkannya.
Kenapa WHO begitu repot ngurusin soal status Indonesia? Apakah ada agenda tersembunyi di balik desakan itu? Dengan ditetapkannya status bencana nasional wabah Covid 19, maka akan berdampak di bidang sosial dan ekonomi.
Kita sudah melihat dan merasakannya kemarin dengan adanya aksi pembelian mi instan dan masker, pasar bursa merosot (Indeks Harga Saham Gabungan) 18,46% sejak Januari hingga pekan pertama Maret 2020 yang mendorong sejumlah emiten melakukan aksi buyback guna menetralisir pasar.
Di Jabodetabek, kita sudah merasakan bagaimana kegilaan Covid 19 juga berimbas pada kebijakan pembatasan trayek dan armada busway. Penumpang busway menumpuk, tujuan untuk menekan penyebaran wabah ini dengan mengurangi kontak fisik di busway, malah jauh dari harapan karena nyatanya, penumpang berjubel.
Imbas dari kegilaan wabah ini atas desakan WHO yang disambut para avonturir politik, adalah dengan membangun narasi ketidakbecusan pemerintah menangani Covid 19. Menyalahkan pemerintah atas tersebarnya identitas PDP Covid 19. Di luar negeri, menyampaikan identitas pasien dalam pengawasan (PDP) tidak dipersoalkan, tuh. Orang sedunia tahu kalau Donald Trump, Jail Bolsonaro dalam pengawasan Covid. Bahkan, Tom Hanks dan istrinya mengumumkan dirinya sendiri terkena Covid. Penyampaian identitas itu justeru solidaritas dari yang sakit kepada yang sehat agar tetap waspada.
Konsekuensi penetapan wabah ini, pemerintah harus menggelontorkan dana Rp 158 triliun untuk stimulus ekonomi dan menutup defisit APBN sebesar Rp 125 triliun. Itu dilakukan untuk penyelamatan ekonomi, demi menjaga pertumbuhan ekonomi tetap di atas 5%. Untuk menjaga agar infrastruktur yang sedang dibangun itu tidak mangkrak. Tapi, untuk itu semua harus ditutup dengan tambahan hutang baru.
Saat kegilaan Covid ini sedang berlangsung, maka sentimen kepada Mamarika dan Mamayudi akan diputar lagi, dibangun lagi narasi baru yang akan menyisakan residu keresahan dan ketidakpuasan di masyarakat. Kenapa mudah sekali masyarakat kita digoreng-goreng?
Oleh :Luther Kembaren