Masyarakat Indonesia Perlu Dilatih Siaga dan Tanggap Menghadapi Bencana

Liputan
Bagikan:

JAKARTA, T3lusur.com — Bencana tsunami di Aceh (2004), erupsi Gunung Sinabung, erupsi Gunung Merapi, tsunami di Gorontalo dan Palu, Gempa di NTT, Gempa di Ambon, dan sebagainya memperlihatkan bahwa Indonesia berada pada ring of fire (lintasan gunung berapi). “Negara kita memang berada pada ring of fire yang sangat rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tanah longsor, tsunami, dan lain-lain. Karena itulah masyarakat Indonesia perlu dilatih siaga dan tanggap menghadapi bencana,” ujar Antonius Natan dalam Pelatihan Peduli Bencana (PeNa) di Jakarta pada Kamis-Sabtu (21-23/11/2019).

“Kondisi wilayah Indonesia yang rawan bencana ini, masyarakat perlu dibekali pengetahuan dan kemampuan yang siap siaga dan tanggap bencana. Siap dan siaga sebelum bencana terjadi, tanggap saat mengatasi bencana, dan mampu mengelola pemulihan pasca bencana,” lanjut Natan.

Pelatihan PeNa (Peduli bencaNa) ini menjadi hal yang penting dilakukan secara meluas. “Kami akan melatih komunitas-komunitas secara luas, tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah lain, khususnya daerah yang rawan bencana,” tandas Natan.

Pelatihan PeNa ini diikuti 25 peserta. Pelatihannya masih bersifat mendasar sebagai bekal mereka memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menghadapi bencana seperti menghadapi bencana kebakaran dan bencana alam. Materi yang disampaikan adalah kurikulum Cepat Evakuasi Respons Tanggap Bencana (CERT) yang sudah memperoleh rekomendasi dari Badan Nasional Penamggulangan Bencana (BNPB).

Pelatihan PeNa yang diinisiasi oleh Jaringan Doa Nasional (JDN), Yayasan Alfa Omega Care, My Home Indonesia, PGLII (Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia), Royal Ranger, dan Lumbung Yusuf Indonesia ini disebut Gerakan Siaga Tanggap (GESIT) Bencana. “Ini adalah pelatihan perdana yang kami laksanakan dan para pesertanya sebagian besar kami libatkan dari wartawan (jurnalis), seperti dari Persatuan Wartawan Media Kristiani Indonesia (PERWAMKI) dan Persatuan Wartawan Nasrani (Pewarna),” jelas Natan.

BACA  Sosok Kepemimpinan Spiritual Yang Ideal Bagi GMRI dan Posko Negarawan

Mengapa lebih banyak wartawan yang diberikan pelatihan yang bersifat perdana ini. Natan menjawab bahwa wartawan memiliki kekuatan dalam menuliskan tentang pengetahuan dan cara-cara untuk siaga dan tanggap terhadap bencana. Para wartawan mampu mengolahnya agar mudah ditangkap dan dimengerti masyarakat (pembaca berita). Apa yang sudah ditulis para wartawan tersebut selanjutnya dapat disebar secara meluas kepada masyarakat. Dengan demikian, masyarakat teredukasi untuk siap-siaga dan tanggap terhadap bencana yang sewaktu-waktu terjadi, sehingga mereka dapat menolong dirinya dan orang di sekitarnya.

Dengan semakin teredukasinya masyarakat tersebut, maka kita mampu meminimalisasi korban bencana. “Sejauh ini jika terjadi bencana di Indonesia, masih banyak korban yang berjatuhan. Semoga melalui pelatihan PeNa ini, korban yang berjatuhan dapat seminim mungkin,” tutup Natan.

Pelatihan PeNa ini difasilitasi oleh para pelatih, seperti Peri, Andrew, dan dr. Carla (sisi medis dan pemulihan trauma). Selain pemahaman dasar yang bersifat teoritis, para peserta juga dilatih melalui simulasi yang sudah disiapkan, seperti mengatasi kebakaran, memilah dan memilih untuk menentukan prioritas pertolongan, dan memberikan pertolongan medis dasar.

Pewarta: Boy Tonggor Siahaan

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published.